Indonesia Tanpa JIL kepanasan, karena presiden Jokowi memberi jabatan komisaris utama PT Balai Pustaka kepada tokoh Jaringan Islam Liberal, Hamid Basyaib. Saya pun membatalkan puasa menulis, karena harus menjawab pertanyaan sahabat: Apa salahnya dengan Jaringan islam liberal, sehingga ITJil menganggap miring pemerintah?
Pertanyaan yang sama sering diucapkan oleh masyarakat, khususnya warga NU. Dan setahu saya, mayoritas orang NU, setidaknya para pengurus yang hadir di muktamar Jombang tempo hari, sudah tidak takut dikatakan liberal. Karena jika dilihat dari kaca mata ilmu pengetahuan islam, sememangnya tidak ada yang salah dengan islam liberal.
Hanya mereka yang melihat menggunakan lensa kebencian dan tanpa dasar ilmu keislaman yang cukuplah yang mengatakan JIL sesat, seperti kelompok ITJil yang kepanasan karena Jokowi memberi kepercayaan penuh kepada dedengkot JIL. Sebenarnya bukan hanya presiden Jokowi, melainkan presiden sebelumnya, SBY juga memilih dedengkot JIL, yaitu Ulil Abshar Abdalla sebagai pengurus di partai Demokrat.
Begitu juga dengan ketua MUI sekarang, KH. Ma'ruf Amin, juga sangat percaya dan dapat duduk bersanding dengan Kiai Maqsith Ghazali ketika membahas persoalan hukum di majlis bahtsul masail NU. Perlu diketahui bahwa, KH. Ma'ruf Amin adalah tokoh yang ikut membidani lahirnya fatwa MUI tentang kesesatan Islam liberal. Bahkan keduanya, KH. Makruh Amin dan Kyai Maqsith Ghazali sangat bersahabat dan saling memahami argumentasi hukum masing-masing untuk kemudian sepakat.
Melihat fenomena di atas, maka masyarakat awam hendaklah berhati-hati dan jangan terikut menjadi pembenci JIL seperti ITJil dan kelompok islamisme lainnya. Mereka menyebarkan kebencian terhadap islam liberal hanya karena ketidaktahuan tentang islam atau karena sebab lain yang lebih politis, yaitu kepentingan pribadi dan golongan, juga ideologi.
Ada baiknya kita mengetahui dan memahami islam liberal dengan baik, dengan cara belajar dari sumber yang benar: ulama yang sungguhan dan kitab yang mu'tabarah, bukan ulama dadakan dan kitab editan. Maaf, tidak bermaksud merendahkan siapapun, ternyata sumber kebencian terhadap islam liberal, berasal dari mereka yang memahami ayat dan hadist hanya bersumber dari buku terjemahan. Dengan kata lain, mereka membenci karena pemahaman yang kurang utuh terhadap pesan kitab suci dan Nabi.
Berikutnya, masyarakat awam juga perlu memahami kedudukan fatwa dalam sistem hukum islam dengan benar. Karena sebuah Fatwa, termasuk fatwa MUI, hanyalah pendapat hukum yang bersifat individual, walaupun dilakukan secara kolektif. Dan produk hukum dari fatwa itu, sedikitpun tidak berkekuatan tetap, juga tidak mengikat. Dengan kata lain, posisi fatwa MUI sama dengan fatwa siapapun yang memiliki kompetensi untuk itu. Termasuk yang menentangnya.
==========
Ingat! Hanya mereka yang memiliki kompetensi ilmu-ilmu keislaman saja yang bisa menggali hukum dari sumbernya: alQuran dan Hadist. Minimal mengerti Bahasa Arab, ulumul Quran dan Ushul Fiqih. Dengan kata lain, pendapat hukum dalam islam harus diawali melalui sebuah ijtihad, dan ijtihad harus menggunakan metode yang terpercaya. Bukan seperti yang sekarang banyak dilakukan ustaz karbitan di pesantren kilat. Mereka hanya membaca satu ayat dan satu hadist dari buku terjemahan sudah berani berfatwa dan menghakimi orang lain yang berbeda. Bahkan tanpa dasar ilmu keislaman yang memadai, seenaknya mengatakan para ulama dan kyai sudah sesat.
===========
Bisakah fatwa hukum dicabut?