Para kyai ketika akan memulai mengajar juga akan melakukan tawassul (menyebut guru yang mengajar kitab tersebut, dari gurunya, guru dari gurunya, terus sampai ke penulis kitab. Dan terus dilanjutkan menyebut rantai periwayatan sampai ke rasulullah. Penyebutan nama itu diiringi dengan do'a dan mengirim bacaan alFatihah.
Pada pertemuan kedua dan berikutnya, tidak lagi disebutkan nama guru-guru itu satu persatu, melainkan cukup dengan cara dijama' atau disebut kumpulan guru-guru sampai ke nabi Muhammad saw.
Barulah setelah pertemuan terakhir, setelah tamat membaca kitab, nama-nama itu disebut kembali, dido'akan dan dikirim pahala alFatihah dan ayat-ayat tahlil dalam acara khataman.
Begitulah transmisi (sanad) keilmuan yang terus dilestarikan di pondok pesantren NU hingga kini. Bersambung sangat kuat, murni dan terpercaya.
Begitu juga dengan murid berikutnya. Baru diizinkan mengajar kitab setelah mendapat ijazah dari guru. Yaitu izin kebolehan secara lisan dan tulisan, atau salah satunya. Dan ijazah itu dilakukan dengan cara berjabat tangan. Kyai tidak memberikan ijazah secara asal, melainkan melalui proses memberi bimbingan dan istikharah.
Kemudian kyai juga memberikan ijazah khusus kepada para murid jika ketika membaca kitab terbentur makna, atau tidak mampu menangkap pemahaman dari kitab yang dibaca. Ada ijazah untuk berwasilah. Dan insya Allah, dengan cara bertawassul, kondisi sulit ketika membaca kitab akan segera dipahami.
Tradisi transmisi keilmuan seperti yang dilaksanakan di pondok pesantren NU adalah sistem baku dalam sistem transmisi keilmuan di dunia islam. Para pakar alQuran dan hadist mengembangkan keilmuan dengan cara tersebut. Para ulama di seluruh dunia masih juga mewariskan keilmuannya dengan cara sanad. Setiap kitab dalam semua cabang keilmuan islam memiliki sanad yang jelas.
Tidak ada yang membedakan antara islam nusantara dengan dunia islam lain dalam sistem sanad ini.
Model keagamaan islam nusantara menjadi berbeda dengan dunia islam lain, karena nusantara memiliki pondok pesantren. Sementara di dunia islam lain tidak ada.
Karena tidak adal lembaga pendidikan seperti pondok pesantren, maka di dunia islam lain, transmisi bersifat individual. Guru atau ustaz yang memiliki sanad ilmu atau kitab menyelenggarakan pengajian kitab di rumahnya atau di jauzahnya. Bersifat terbuka dan siapapun boleh mendapatkan ijazahnya dengan syarat yang telah ditentukan. Antaranya, telah menguasai isi kitab pada batas minimal.
Pemilik sanad tidak mempersulit, bahkan sangat berkeinginan untuk memberi bantuan maksimal kepada yang menginginkan ilmunya. Hanya saja masyarakat luas yang mengikuti kurang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kesempurnaan dalam pelajaran. Banyak yang belajar tidak sampai khatam.