Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Exit/Keluar

29 Mei 2015   15:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:28 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Yang tidak tertulis itu jendela mati, tidak bisa dibuka. Sedangkan yang tertulis itu pintu, bisa dibuka."

Mungkin baru penerbangan kali ini anak itu berkesempatan duduk di barisan bangku yang bersebelahan dengan kaca yang bertuliskan "exit/keluar", maka ia sangat penasaran. Jawaban ibunya yang menurutku sudah benar, ternyata belum mampu menjelaskan rasa penasarannya. Gadis kecil itu belum memahami penjelasan dari ibunya.

"Exit/keluar" itu maksudnya pintu," jawab ibunya menegaskan, dan anak itu manggut-manggut sambil memandangi tulisan yang dipersoalkannya.

Aku hanya tertawa mendengar diskusi antara ibu dan anak gadisnya. Karena anak kecil itu masih belum memahami penjelasan ibunya, ia pun kembali melemparkan pertanyaan: "mengapa tidak dituliskan saja "dor/pintu", agar mudah dipahami? Dan darimana ibu bisa tahu kalau itu pintu?" Anak itu terus mendesakkan kebingungannya.

Ibu itu mungkin sudah capek melayani pertanyaan anaknya, maka dijawab dengan ketus: "Kalau di pesawat udara memang begitu, "exit/keluar" maksudnya "dor/pintu".

Anak itupun langsung diam, meskipun belum paham, masih dalam kondisi kebingungan. Setidaknya, itulah yang saya pahami dari bahasa tubuh yang gelisah. Kakinya digoyang-goyangkan, meski tidak ada irama musik. Kemudian wajahnya diputar memandang ke depan, ke belakang, ke kiri dan ke kanan, tidak beraturan. Semua gerakan anggota tubuhnya mengisyaratkan bahwa, dia sedang mencari jawaban yang belum terpuaskan akalnya.

Kemudian, tanpa sengaja, matanya bertatap pandang denganku yang sengaja melihat gerak-geriknya. Ia tersenyum malu, kubalas dengan senyum pujian, seraya menganggukkan kepala. "Anak cerdas," kataku membatin, seraya mengusap rambut kepalanya.

=============

Anak kecil itu belum mampu mendapatkan makna yang dimaksud dari teks tertulis berdasarkan konteks. Si ibu secara tegas sudah memberitahu konteks yang menciptakan makna baru, yaitu kalimat: "Kalau di pesawat udara memang begitu." Tetapi, anak sekecil itu belum mampu untuk menghubungkan konteks dengan makna yang dimaksudkan. Ia tetap tidak bisa menerima "exit/keluar" bermakna "dor/pintu"

Pemahaman secara kontekstual dari sebuah teks membutuhkan kecerdasan dan pengetahuan. Dalam kasus di atas, anak kecil itu sudah memiliki kecerdasan. Ia memiliki keberanian mempertanyakan maksud dari teks tertulis. Keberaniannya bertanya adalah wujud nyata kecerdasan. Tetapi dia tidak bisa mendapatkan makna yang dimaksud oleh teks karena tidak memiliki ilmu atau pengetahuan akan konteks.

Pengetahuan yang utuh terhadap konteks yang melahirkan teks itulah cara yang mesti ditempuh untuk mendapatkan dan memahami makna yang dimaksudkan. Tanpa pengetahuan akan konteks yang melahirkan teks, maka makna yang didapat hanyalah makna artifisial, harfiah. Bukan makna sebenarnya yang dikehendaki oleh teks. Dengan kata lain, pemahaman yang tidak memperhatikan konteks yang membentuk teks, tidak akan menemukan hakikat kebenaran yang sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun