Rajab adalah bulan mulia. Masyarakat Melayu menghormati bulan ini dengan memperbanyak amal dan ibadah sunnah. Sebaliknya, masyarakat Arab, khususnya pemerintah Arab Saudi menumpahkan darah warga negara tetangganya, syi'ah houti di Yaman.
Anehnya, ada ulama yang mengatakan amalan masyarakat Melayu di bulan Rajab ini adalah bid'ah. Katanya, hadist yang dijadikan sandaran adalah dha'if, bahkan maudhu'. Tetapi pendapat para ulama itu tidak merisaukan masyarakat Melayu. Mereka tetap menjalankan tradisi budaya di bulan Rajab seperti biasanya.
Masyarakat Melayu hanya risau dengan peperangan di bulan Rajab. Dimana, Arab Saudi yang katanya berpegang teguh kepada alQuran, memerangi kelompok syi'ah Houti di Yaman. Bahkan komplek KBRI ikut terkena bom dan hancur. Bukankah Tuhan jelas melarang berperang di bulan Rajab yang mulia ini?
Menurut masyarakat Melayu, juga yang lain, Bulan ke-7 dari 12 bulan yang dihitung berdasarkan peredaran bulan, adalah salah satu dari empat bulan mulia, haram. Tuhan yang dimuliakannya. Keempat bulan itu: Zulqaidah, Zulhijah, Muharram dan Rajab.
Khusus di bulan Rajab ini, masyarakat Melayu mengadakan peringatan seremonial Isra' Mi'raj. Yaitu peristiwa nabi memenuhi panggilan Tuhan, dan menghadapNya di Sidratul Muntaha. Itulah peristiwa menjemput sembahyang lima waktu. Dan untuk menghormati bulan ini, masyarakat Melayu semakin rajin berpuasa sunnah, bersembahyang sunnah, dan bersedekah sunnah atau berkenduri.
Kenduri atau sedekah sunnah yang dilaksanakan masyarakat Melayu sangat terkait dengan peristiwa seremonial Isra' Mi'raj. Dan di bulan inilah, hewan dipotong dan bahan makanan dimasak untuk mengundang makan bersama sanak famili, saudara mara, fakir miskin, handai taulan dan para tetangga.
Seperti biasa, sebelum menyantap makanan, alQuran dibaca dan do'a dimohonkan kepada yang Maha Pemurah, Tuhan. Khusus di bulan Rajab, biasanya akan dilaksanakan ceramah seputar peristiwa Isra' Mi'raj, yang intinya kewajiban sembahyang.
Belakangan ada juga warga masyarakat yang tidak melaksanakan kenduri dimtumah, melainkan cukup dengan memberi makanan yang diantar langsung ke tempat penampungan orang miskin dan rumah anak-anak yatim.
Masyarakat Melayu tidak pernah mempersoalkan hadist sebagai dasar amal ibadah sunnah di bulan Rajab ini. Maka pendapat yang mengatakan bahwa, hadist yang dijadikan sandaran itu dha'if, bahkan maudlu' oleh para ulama, tidak mengusik ketenangan masyarakat Melayu beramal dan beribadah tambahan. Karena masyarakat Melayu melakukan amalan di bulan ini sebagai bentuk penghormatan dan kesyukuran kepada Tuhan yang telah memberinya kesempatan hidup dan sehat di bulan Rajab, yang dimuliakan.
Di samping itu, masyarakat Melayu menandai bulan Rajab dengan kesungguhan beramal baik, sedekah dan ibadah, karena kegembiraan menyambut Ramadlan, yang tidak berapa lama lagi, tinggal dua bulan saja. Masyarakat Melayu juga berdo'a agar dapat bertemu dengan bulan Ramadlan yang sangat mulia itu, bulan ketika alQuran diturunkan.
Budaya masyarakat Melayu adalah sesuatu yang baik. Mereka mengisi bulan baik dengan amalan yang baik dan ibadah sunnah yang ditambah. Bulan Rajab hanyalah moment yang diberi makna khusus, karena Tuhan telah memuliakannya.
Begitulah cara masyarakat Melayu memberi makna akan tanda dan peristiwa, termasuk waktu yang ada. Semua amal ibadah sunnah yang dilaksanakan di bulan Rajab ini bersifat pilihan, dan dinilai baik, tetapi bukan kewajiban agama.
==================
Kemulian bulan-bulan haram, termasuk Rajab dasanya firman Tuhan, Sabda nabi dan pendapat ulama.
Firman Allah, artinya: "Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ada dua belas bulan. Itulah ketetapan Allah ketika menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah agama yang lurus. Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu." (At Taubah: 36).
Abdullah bin 'Abbas menjelaskan tafsir dari ayat diatas. "Janganlah kalian menganiaya diri kalian yakni pada seluruh bulan yang ada, secara khusus empat bulan haram. Allah melebihkan kedudukannya dari bulan lain. Perbuatan dosa yang dilakukan di dalamnya lebih besar dosanya dihadapan Allah. Begitu juga amalan shalih yang dilakukan, ganjaran yang didapat lebih besar pula." (Lathaif Al Ma'arif: 124)
Sabda nabi saw, artinya: "Sesungguhnya waktu terus berputar seperti semula. Yakni ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Ada empat bulan haram. Tiga bulan berurutan, yaitu Zul Qa'dah, Zul Hijjah, dan Muharram. Kemudian bulan Rajab diantara Jumadil Akhir dan Sya'ban." (HR. Al Bukhari: 4385 dan Muslim: 1679).
Tuhan telah melarang kaum muslimin untuk berperang di bulan-bulan ini. Seperti firman Allah, artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar."
Menurut banyak mufassir bahwa, bulan-bulan ini telah dimuliakan sejak zaman nabi Ibrahim as. Terus berlanjut di kalangan masyarakat Arab sebelum islam. Mereka mengagungkan bulan-bulan ini dan sangat menjaga diri dari berbuat dosa dan kemaksiatan didalamnya. Dikatakan Allah:
"Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu."
Sangat menyedihkan. Umat islam mengabaikan pesan Tuhan dalam alQuran. Di bulan yang diharamkan, mereka berperang sesama sendiri. Tidak ada tanda-tanda perang akan berakhir. Mereka berperang atas nama agama, tetapi pesan agama diabaikannya.
==================
Masyarakat Melayu tahu persis bahwa, tidak ada amaliyah dan ibadah yang dilaksanakan di bulan Rajab ini bertentangan dengan syari'at islam. Juga, tidak ada ibadah baru yang diciptakan, ditambah atau dikurangi syarat rukunnya. Kita balik bertanya: mengatakan bid'ah apa dasar dan buktinya?
Sesungguhnya tuduhan itu mengada-ada. Tidak ada amaliyah dan ibadah yang dilakukan masyarakat Melayu itu bid'ah. Karena puasa yang dilakukan masih tetap sama, hanya frekwensi dan keberagamannya ditambah. Sembahyang yang dilakukan juga begitu, syarat rukunnya masih sama. Begitu juga dengan kenduri, bacaan alQurannya sama dan memohon juga kepada Tuhan.
Andaikan amalan masyarakat Melayu di bulan Rajab ini dikatakan sunnah, mengapa tidak? Karena membudayakan kebiasaan yang baik di bulan yang mulia. Tuhan saja memuliakan bulan ini. Tidak salah masyarakat Melayu memuliakan dengan cara mengisinya dengan amalan yang baik dan ibadah yang bertambah. Seperti nabi Muhammad pernah melakukan.
Ya. Nabi saw menghormati dan menghargai hari senin dengan melaksanakan puasa, ibadah dan sedekah. Karena hari senin adalah hati kelahiran nabi saw. Dan karena kelahiran itulah Tuhan memuliakan dan mengangkatnya sebagai kekasih. Cara nabi mengekspresikan kesyukuran dan kebahagiaan dengan berpuasa, bersedekah dan beribadah lainnya.
Hadist Nabi saw: "Dari Abu Qatadah al-Anshari ra. Nabi saw ditanya tentang kebiasaan beliau berpuasa hari senin. Beliau menjawab: “Itu adalah hari dimana aku dilahirkan dan hari aku diutus.” (HR. Muslim).
Cara yang dilakukan nabi Saw ketika menghormati waktu mulia, ditiru oleh masyarakat Melayu: berpuasa, beribadah sunnah, dan bersedekah. Seiring waktu berjalan, cara yang dicontoh dari nabi itu menjadi kebiasaan atau budaya. Yakni memuliakan waktu yang mulia dengan memperbanyak amalan sunnah dan kenduri. Seperti itulah hakikat budaya di bulan Rajab bagi masyarakat Melayu.
Ulama yang membid'ahkan mestinya memahami bahwa, cara menghormati dan menghargai hari atau bulan mulia, tidak semuanya diatur syari'at (Quran dan hadist). Tuhan memberi kebebasan kepada hambanya untuk mengekspresikan bentuk penghormatan dan pengharagaan, sejauh tidak melakukan yang diharamkan.
Cara mengekspresikan penghormatan dan penghargaan itu bisa bersifat individual, bisa juga menyangkut budaya masyarakat. Orang sufi mungkin berbeda caranya dengan orang biasa, ketika memuliakan bulan Rajab yang mulia. Begitu juga di tingkat masyarakat budaya. Masyarakat Arab mungkin berbeda cara mereka mengisi aktifitas di bulan Rajab dengan masyarakat Melayu.
Yang jelas, pemerintah Arab Saudi tahun ini memuliakan bulan Rajab dengan mengabaikan firman Tuhan. Karena pemerintah Arab telah memerangi sesama muslim, yaitu syi'ah Houti di Yaman. Alhamdulillah, masyarakat Melayu masih tetap berpegang kepada budaya leluhurnya, memuliakan bulan Rajab dengan sedekah, sembahyang dan puasa.
Semua bentuk ekspresi individual atau komunal dalam menghidupkan kegembiraan di bulan Rajab tidak ada yang salah, sejauh aktifitas yang dilaksanakan tidak dilarang syari'at (alQuran dan hadist). Karena, bentuk ekspresi itu hanyalah budaya, bukan agama.
Namun jangan lupa bahwa, substansi dari budaya Melayu adalah agama dan mengikuti syari'at: puasa, sembahyang dan sedekah. Berbeda dengan ekspresi budaya masyarakat Arab Saudi, yang substansinya melawan syari'at: bermusuhan dan berperang.
Seandainya hadist nabi yang berkaitan dengan amaliyah masyarakat Melayu dianggap dla'if, ketahuilah bahwa, para ulama memperbolehkan hadist dla'if untuk amal tambahan (fadlailul a'mal). Dan, andai hadist itu maudhu', juga tidak ada salahnya, karena amaliyah dan ibadah yang dilaksanakan tidak ada yang berubah, dan sedikitpun tidak menyalah.
Semoga Tuhan memuliakan masyarakat Melayu yang telah memuliakan bulan Rajab dengan amalan yang baik dan ibadah yang bertambah. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H