Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia: Model Perpaduan Islam & Demokrasi

25 April 2014   22:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika masyarakat dunia meragukan penerimaan sistem demokrasi di negara-negara muslim, Indonesia telah membuktikan kecocokannya. Bahkan semangat islam dan sistem demokrasi di nusantara ini saling membutuhkan dan menguatkan. Indonesia menjadi bukti kebesaran islam dalam menerima ide-ide besar yang akan merubah kehidupan menjadi lebih baik. Muslim di negeri khatulistiwa ini memiliki wadah peradaban yang kuat untuk menerima isme apapun. Wadah itu adalah Pancasila.

Isme yang paling kanan dan yang paling kiri dapat hidup dengan tenang di negeri ini sejauh bisa saling berdampingan. Sebaliknya, isme apapun yang membuat kekacauan akan menerima akibat karena perbuatannya. Dalam sejarah masa silamnya, negeri ini telah menghancurkan gerakan ekstrim yang disemangati oleh isme komunis (PKI) dan islam (DDII/NII). Kemudian Pancasila dapat mengembalikan kerukunan dan tanpa balas dendam.

Saat ini, ketika terjadi gelombang kebangkitan islamisme di beberapa negeri muslim, seperti di Mesir, Turkey dan Syiria, yang menampilkan wajah islam yang kurang bersahabat dengan kehidupan modern, riaknya tidak akan mendapatkan tempat di negeri ini. Karena muslim negeri ini penganut islam secara substantif dalam wadah Pancasila. Muslim yang tidak memberhalakan simbol keagamaan. Bukti nyata untuk itu adalah kekalahan semua partai yang mengedepankan islam secara simbol di sepanjang sejarah demokrasi negeri ini.

Melihat fenomena perpolitikan di negeri ini, sebenarnya dikotomi politik menjadi islam dan sekuler tidak kontekstual. Karena secara substantif semuanya islam dan juga sekular. Semua yang berbeda adalah sama dan yang sama adaalah berbeda. Semua mendapat pengakuan yang sama di depan hukum dan pemerintahan. Bahkan secara politik representasi agama tidak pernah dipersoalkan. Warga negara dengan agama apapun dan mazhab agama apapun berhak menjadi pejabat politik dimanapun.

Demokrasi dengan semangat keagamaan telah membentuk kepribadian masyarakat Indonesia yang terbuka dan akomodatif dengan perbedaan, termasuk agama dan mazhab. Sehingga kelompok tertentu yang menjadikan agama sebagai isu politik, akan mendapat perlawanan secara luas dari masyarakat. Islam adalah semangat hidup dan sumber inspirasi bagi kehidupan warganya. Dengan kata lain isme apapun sudah menjadi muslim dengan sendirinya di sini. Karena penduduk negeri ini memiliki umat islam yang terbesar dan terbanyak jumlahnya.

Tidak berlebihan apa yang pernah dikatakan Fazlur Rahman, guru besar study islam di Cicago beberapa puluh tahun yang lalu bahwa, kebangkitan islam akan muncul di Asia Tenggara, yakni Indonesia. Apa yang dikatakan Prof. Fazlur Rahman, guru besar para negarawan di Indonesia ini, seperti Nurcholis Majid (alm) dan Buya Syafi'i Ma'arif mulai menampakkan titik terang.

========================

Penulis tidak tutup mata terhadap bebarapa kelompok keagamaan yang tertutup. Kelompok yang menutup pintu surga untuk yang lain. Kelompok yang mengakui kebenaran hanya ketika bersumber dari kelompoknya. Kelompok yang eksklusif tersebut menampakkan keberadaannya ketika berteriak dengan keras. Teriakannya suka memaki, menghasud, memfitnah dan mengkafirkan.

Pemerintah SBY seperti belum sempat menjentiknya. Sementara pembantu SBY di bidang keagamaan, Surya Darma Ali tidak memiliki keilmuan yang cukup untuk memahami perilaku mencemarkan islam dan Indonesia dari kelompok kecil ini. Semoga pemerintahan yang akan datang mahu menindak kedegilan mereka.

Kita berharap kelompok islam toleran dan moderat yang bergabung ke partai politik dapat memberi masukan kepada pemerintah yang akan datang agar lebih tegas mengantisipasi gerakannya sebelum jatuh korban. Jauh akan lebih baik kalau menteri agama diambil dari intelektual islam yang moderat dan toleran. Partai politik di Indonesia memiliki banyak stok intelektual islam yang memenuhi kriteria tersebut.

Sebagai bentuk nyata sikap toleran dan akomodatif dengan perbedaan, mungkin Jalaluddin Rakhmat dari Syiah dapat dipertimbangkan menjadi menteri agama. Karena kemampuan keilmuan dan sikap keagamaan beliau tidak diragukan lagi. Dan kalau ini benar terjadi, maka ulama di Syiria dan beberapa negara Timur Tengah yang masih bersengketa karena persoalan Sunni-Syi'i dapat kita undang untuk belajar ke Indonesia.

Begitu juga seandainya Jokowi memenangi pilpres yang akan datang, secara otomatis Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta, maka sempurnalah perpaduan antara semangat Islam dan Demokrasi di negeri ini. Bukan hanya islamis dan sekular yang tidak kontekstual, tetapi istilah mayoritas dan minoritas tidak lagi memiliki arti secara politik. Semua warga negara berkedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan, yang membedakan hanyalah prestasi dan kontribusi terhadap negara dan bangsa.

Tinggal selangkah lagi.

Mari kita mengambil bagian untuk mewujudkan semangat islam ini dalam bingkai demokrasi dinegeri indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun