Setelah tertunda seminggu, sayapun tidak mampu untuk menyembunyikan persetujuan menikah dengannya. Menjadi isteri kedua dari lelaki yang sangat setia, meskipun tidak memiliki anak. Tetapi bukan itu yang menjadi penyebab pernikahan kami. Melainkan karena kami saling mencintai. Kami siap dengan apapun kemungkinan yang akan diterima.
"Kamu pasti dituduh merampas suami orang," seperti kata emakku mengingatkan. Tetap saja telingaku tertutup untuk menerima pelarangan menikah dengan bang Merin.
Setelah mendapatkan kepastian dariku, bang Merin segera membujuk isterinya untuk bersedia dimadu. Sayalah yang menjadi madu itu, tetangga sebelah rumah. Meskipun sangat berat bagi isteri untuk memberi izin suaminya menikah lagi, tetapi bang Merin mendapatkan restu itu dari Milah, isterinya.. Kamipun menikah secara resmi dan sah menurut undang-undang yang berlaku.
Kami menikah sebatas memenuhi legalitas formal beragama dan bernegara. Tanpa pesta dan ucapan selamat dari saudara dan teman dekat, juga tetangga. Ketika itu ayah megantarkanku ke kantor KUA kecamatan. Sedangkan bang Merin pergi sendirian bersepeda motor. Dan di ruang itu hanya ada pak KUA, dua orang saksi dari kantor, ayah, bang Merin dan saya.
Setelah menikah, kami juga tidak bisa leluasa bergerak sebagaimana layaknya suami isteri yang lain. Bang Merin dapat kapanpun pergi ke rumahku, tetapi saya tidak bisa pergi ke rumah bang Merin, walaupun status saya adalah isteri yang sah dari bang Merin. Itulah yang diminta bang Merin, agar isteri pertamanya tetap dihormati dengan baik. Seperti juga aku, isteri pertama bang Merin juga tidak pernah ke rumahku. Bahkan semenjak kami menikah, menegurkupun dia tidak mahu.
aku sangat memahami bagaimana perasaan isteri pertama bang Merin. akupun tidak perlu mempermasalahkan. Yang penting bagiku adalah bang Merin sudah menjadi suamiku. Dia leluasa masuk kerumahku, meskipun dengan sangat berat hati meninggalkan Milah sendirian di rumah. Sehingga sangat jarang bang Merin bermalam di rumahku. Andaikan bermalampun, subuh gelap bang Merin segera pulang ke rumahnya. Untuk menjaga perasaan Milah.
Dua bulan setelah menikah, saya dinyatakan bidan kampung positip hamil. Kebahagian yang tidak terbayangkan sebelumnya menjadi milik kami. Saya sangat tersanjung, akan menjadi ibu. Begitu juga bang Merin.
"Sempurnalah sudah bahwa aku lelaki," kata bang Merin ketika mengetahui kehamilanku. Ketika itu dia menangis sambil mengusap perutku yang mengandung benih dari kelaki-lakiannya. Kemudian dia melanjutkan perkataannya, "andaipun mati hari ini, hidupku sudah sempurna, ada keturunan yang akan melanjutkan kehidupan, ada bukti bahwa aku pernah hidup."
Tetapi kebahagian yang kami dapatkan dari hubungan ini tidak berlangsung lama. Bang Merin menjadi sering terlihat bingung dan murung ketika menemuiku dengan janin yang kukandung dari pernikahan kami.
Entah mengapa, bang Merin merasa sangat berdosa dengan isteri pertamanya karena kehamilanku. Sedangkan isteri pertamanya merasa tidak dihargai karena tidak dapat memberi keturunan seperti diriku. Itulah sebabnya bang Merin menjadi semakin tidak tenteram dengan keadaan.
Tidak ada siapapun yang dapat dipersalahkan. Bukan Milah atau bang Merin. Juga bukan diriku. Cara menanggapi keadaan yang terlalu sensitif itulah yang salah. Keadaan kehamilanku membuat Milah dan bang Merin tidak harmonis lagi, seperti juga hubunganku dengan bang Merin.