Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Jalan Sahabat: Idris Sardi

29 April 2014   06:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:05 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Dalam moment apapun aku tidak suka berfoto untuk dijadikan kenangan, karena aku butuh kebersamaan yang harus terulang lagi. Bukan hanya sebatas kenangan, melainkan kebersamaan yang abadi yang kuinginkan. Maka pertanda foto untuk kenangan itu tidak terlalu kuperlukan", aku melanjutkan filsofi hidupku. Iapun menngangguk-anggukkan kepala tanda persetujuan. Setidaknya itulah yang kuinginkan.

Setelah sampai di luar auditorium, mobil Land Cruiser BM 1 D sudah menunggu di depan ujung tangga. Kamipun berjabat tangan perpisahan. Ia bermalam di Wisma Daerah Sri Mahkota Bengkalis, tempat beristirahat tamu-tamu istimewa. Wisma bergaya Erofa abad pertengahan yang begitu megah. Akupun mengambil sepeda motorku di tempat parkir. Kebetulan isteriku sudah menungguku di tempat parkir sepeda motor tersebut. Segeralah kami pulang ke rumah.

Setelah pertemuan pertama itu, aku tidak pernah lagi bertemu. Ketika kerinduan untuk bersamanya mengganggu, kuputar lagu-lagu instrumentalia patriotis yang dimainkannya. Setiap kali mendengar lagu dari permainan biolanya, air matakupun berlinang. Suasana kebahagiaan penuh haru nan syahdu itu senantiasa membayang dan membayang.

Kerinduan untuk dapat berbincang bersama memang sulit kulakukan. Aku tidak mungkin bisa menghadiri pertunjukannya di ibukota Jakarta, sedangkan ibu kota provinsi saja kakiku belum pernah jejak. Harapanku selama ini hanya kugantungkan ke Bupati Bengkalis agar mahu mengundangnya kembali. Tetapi harapanku sia-sia belaka. Sahabatku Idris Sardi tidak pernah lagi diundang guna memeriahkan acara hari kemerdekaan di ibukota kabupaten.

Siang ini aku pulang dari kebun lebih cepat dari biasanya, jam tiga sore. Tidak biasanya isteriku memutar lagu-lagu instrumentalia patriotis dari permainan biola Idris Sardi. Karena biasanya kami memutar lagu itu untuk didengar bersama-sama. "Bang, pemaian biola kesayangan kita sudah meninggal", kata iteriku sambil menangis. "Kapan?", aku ingin keterangan lebih detail tentang waktu kepulangannya kepada isteriku. "Tadi pagi, setelah abang pergi ke kebun." jawabnya sambil sesenggukan.

Segera kunyalakan tv dan mencari saluran berita. Tidak lama muncullah running teks:

Idris Sardi telah meninggal dunia pukul 07:25 WIB di Rumah Sakit Meilia. Akupun terkenang kembali pertemuan singkat dengannya 4 tahun yang lalu di auditorium ibukota kabupaten. Lagu patriotis dari gesekan biolanya terus mengalun. Kubiarkan segenap hati dan jiwaku terhanyut mengenang kembali kebersamaan itu.

Segera kuambil kertas dan pena. Lalu aku menuliskan apa yang sedang kupikirkan.

Selamat jalan sahabatku Idris Sardi

Kebersamaan denganmu tidak mungkin akan berakhir. Walaupun jasadmu telah pergi mendahului, tetapi tidak dengan hati dan jiwamu. Hati dan jiwamu tetap hidup di hati dan jiwaku. Semoga kelak aku mendengar kembali merdu suara gesekan biolamu di sana: surga.

Dari sahabatmu,

Masdar.

Bengkalis, 28 April 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun