Ada kaidah dalam teori hukum Islam: "Asal perintah menunjukkan wajib", dan "Asal larangan menunjukkan haram". Perintah (amar) atau larangan (nahy) didapat dari dua sumber hukum, yaitu alQuran dan Hadist. Tetapi kaidah ini tidak berlaku mutlak. Artinya, implementasi kaidah itu fleksibel. Bisa saja perintah atau larangan itu menghendaki sesuatu yang lain.
Fleksibelitas dalam penerapan kaidah, karena yang dipentingkan dalam penetapan hukum bukan bunyi nash, melainkan alasan hukum disebalik nash atau illat. Jika hukum ditetapkan hanya merujuk bunyi nash, maka bisa jadi produk hukum kurang, bahkan tidak memenuhi tujuan utama syari'ah. (Baca: Maqashid alSyariah karya alSyatibi).
Untuk menghindari produk hukum formalis (hanya merujuk bunyi nash), maka dibuat kaidah: "hukum harus berpijak kepada illat hukum (ratio legis)". Yaitu memenuhi azas yang bersifat universal, seperti keadilan, ketertiban, kesetaraan, kepantasan dan kesejahteraan.
Illat hukum dalam nash ada yang disebutkan atau tersurat, ada pula tersirat. Ahli hukum ketika berijtihad haruslah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mendapatkannya. Tuhan menghargai kerja keras mujtahid dengan pahala, walaupun ternyata hasil ijtihadnya salah. Tetapi yang menentukan benar atau salah tentunya yang memberi pahala, Tuhan.
Penjelasan sangat-sangat singkat di atas, dapat digunakan untuk alat membaca dan menyimpulkan hukum. Mari kita gunakan alat sangat2 sederhana ini untuk membaca dan membuat kesimpulan hukum terkait celana cingkrang.
Celana cingkrang adalah produk hukum yang bersumber dari hadist-hadist Nabi saw.. Tanpa meneliti (takhrij) kwalifikasinya, baik kwalitas maupun kwantitas, anggaplah semua memenuhi syarat menjadi sumber hukum materil.
Kita dapati, semua Hadist Istbal (melarang menggunakan pakaian melewati mata kaki), ada tiga model: melarang dengan alasan hukum, melarang tanpa alasan hukum dan membolehkan kepada orang tertentu.
Untuk yang illatnya sudah disebutkan, maka itulah dasar hukum pelarangannya. Sedangkan yang tidak memiliki illat hukum, mujtahid harus mencarinya. Untuk yang membolehkan, tidak ada masalah.
Berhadapan dengan materi hukum yang banyak, seperti Hadist istbal, tidaklah sulit. Karena semua redaksinya searah, tidak kontrasikrif. Hanya redaksi yang berbeda, seperti nahi, ancaman neraka dan yang lainnya. Kemudian ada yang membolehkan (Silakan dicari dan dibaca sendiri hadist tentang istbal).
Mungkinkah larangan yang sama, tetapi alasan hukumnya berbeda? Menurut teori hukum Islam, itu tidak mungkin. Pengecualian hanya apabila ditemukan illat hukum tersurat yang berbeda, atau bunyi nash kontradiktif antara satu dengan yang lain. Sejauh hal-hal yang mengecualikan tidak ada, maka illat hukum yang tersurat itulah yang dijadikan dasar penetapan hukum bagi yang tersirat. Artinya hadist-hadist yang ada saling menguatkan.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa menggunakan celana cingkrang bukanlah tujuan utama dari larangan itsbal dan tidak pula menjadi penyebab yang melanggar masuk neraka. Yang dilarang Nabi adalah bersifat sombong. Karena sifat Sombong itulah illat hukum yang tepat untuk menjadi alasan legis dilarangnya istbal. Kesimpulan ini diperkuat dengan Hadist2 yang memperbolehkan.
Mari kita jauhkan sifat sombong ketika berpakaian. Dan berpakaianlah model apapun. Karena tidak ada dasar untuk melarang orang berpakain. Yang mahu bercelana cingkrang, silahkan. Yang bercelana melewati mata kaki, tidak dilarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H