Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melarat

26 Januari 2015   00:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:23 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Hidup tidak lebih baik dari mati." Itulah ungkapan yang bisa menjelaskan keadaan keluarga Muhammad, warga Pengkalan Batang, Bengkalis, Riau. Rumahnya, lebih tepat disebut gubuk, jauh dari jalan. Hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau bersepeda. Itupun sulit, karena ada parit pembatas kebun yang tidak dijembat. Bukan pula miliknya, hanya numpang untuk sementara.

"Menjelang mati," kata isterinya nyeletuk, saat sahabatku menceritakan keberadaan gubuk itu.

Isterinya saat itu baru berumur sekitar dua puluh tahun dan sudah memberikan tiga orang anak. Mereka menikah dalam usia sangat muda. Pernikahan yang tidak direncanakan, terpaksa, karena hamil akibat pergaulan bebas. Perempuan itu masih beruntung, karena Muhammad, lelaki yang menghamili, mahu menikahi.

Saat kami datang, Muhammad sedang tidak di rumah. Hanya ada Isteri dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Yang sulung, umurnya lebih tiga tahun, dan yang tengah dua tahun setengah. Kemudian si kecil, yang sedang munyusu di gendongan, belum sampai setahun. Begitulah penjelasan ibu muda itu saat ditanya.

"Abang entah kemana, barusan keluar jalan kaki, katanya 'nak cari kerja," jawab isterinya sambil menyusui di depan pintu, yang hanya ditutup triplek yang digeser. Sementara anak pertama dan kedua sedang menangis, bergelayut di kaki, karena mengharap sesuatu yang tidak didapat.

"Diam," katanya berulang kali menenangkan kedua anaknya yang menangis, sambil memukuli dengan satu tangannya, secara bergantian. Tetapi kedua anaknya tidak bisa mengerti, tetap berharap dan berharap agar keinginannya didapat.

Sudah tidak mempan dengan kata-kata dan pukulan telapak tangannya letih, ia pun pergi ke dapur mengambil periuk dan dibanting dengan geram, di hadapan anak-anaknya yang masih juga menangis.

"Lihat sendiri! Sudah habis, kan?," bentaknya sambil membujuk dan menunjuk tempat menanak nasi yang memang tidak berisi, kosong.

Kedua anaknya yang masih kecil itu memandangi wajah ibunya, memelas. Namun rasa lapar yang terus menyerang membuat mereka sulit untuk diam, tetap terisak, sesenggukan.

Melihat anaknya menengadah memandangi wajah, ibu muda itu memeluk keduanya, bertiga dengan yang di gendongan, juga ikut menangis, di depan pintu.

Kami tidak sanggup melihat lebih lama. Dan kami tinggalkan sedikit uang zakat yang memang haknya, sebatas cukup untuk mengganjal perut sehari dua. Tidak bisa lebih. Karena hanya itulah adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun