Cerita pun mengarah ke fenomena seputar kesurupan. Siswa-siswi mempunyai pendapat beragam, mengikut pengalaman masing-masing. Ada pendapat yang mengembalikan ke agama, ada ke psikologi, ada juga ke syaraf, dan ada ke budaya.
Saya senang. Semuanya benar dan memiliki dasar. "Tidak boleh saling menyalahkan atau mengklaim kebenaran," kataku menasehatkan mereka.
Sebagai penutup, dengan senang dan tersenyum, saya katakan: "Tanpa bermaksud menyamakan alQuran, apalagi merendahkan, melainkan hanya sekedar untuk renungan diri sendiri, kita harus akui, bahwa: mantera Jawa lebih unggul."
Siswa dan siswi semuanya ikut tersenyum dengan kalimat penutup yang saya ungkapkan. Kelaspun berakhir dan semua pulang, setelah saya ucapkan salam.
Saya lebih dahulu meninggalkan kelas. Siswa yang memperkenalkan dukun, berjalan di belakang saya, beberapa langkah, sampai ke kantor. Sepertinya ingin menyampaikan sesuatu.
"Ada apa?"
"Ini, untuk bapak," jawabnya sambil memberikan amplop yang tertutupmrapat, dilem Dia pun segera pamitan, melangkah pulang menyusul teman-teman yang lain. Dan dengan hati gembira, saya buka. Ternyata isinya:
Holy Quran 69: 42.
------------------
وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Dan (alQuran itu) bukan pula perkataan dukun. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya.
Setelah saya baca, saya masukkan kembali lembaran yang bertuliskan ayat alQuran itu ke dalam amplop yang sudah disobek, lalu saya selipkan di deretan kitab tafsir di ruang kerja. Tepatnya di halaman satu, juz satu, kitab tafsir Nazmu al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, karangan Ibarahim Al-Biqa’i.
"Besok akan saya pelajari, apa maksud ayat ini," bisikku dalam hati, seraya melangkah pulang.