Suhu ibukota pagi ini begitu dingin. Saya putuskan mandi secepatnya agar lebih hangat secepatnya dan bergegas mengambil kretek berbungkus coklat untuk turut menghangatkan badan.Â
Saya buka laptop, saya cari berita tentang pendidikan, saya temukan tulisan menarik pada suatu kolom yang ditulis oleh "penulis & wartawan" (ngakunya seperti itu).Â
Tulisan tersebut adalah respon dan tanggapannya untuk novel Damar Kambang, dan yang menarik saya yaitu judul besar kolom tersebut; "Perkawinan Dini dan Klenik dalam Novel Damar Kambang".
Saya penasaran. Saya baca. Saya pahami. Saya ikuti alur narasinya. Saya telusur kalimat-perkalimat yang ia tuliskan, dan tiba-tiba timbul tanya melintas dalam benak saya, "Benarkan yang dikatakan oleh Leila ini? Atau hanya dibuat-buat agar seakan-akan benar agar pembaca membenarkan tulisannya? Atau ia sebenarnya belum tentu benar? Ada kepentingan apa ia dalam tulisan tersebut?Â
Benarkah ia seorang 'wartawan'? atau ia hanya ingin disegani dengan cara menyematkan 'wartawan' pada dirinya? Bukankah seorang wartawan harus mengkonfirmasi temuan-temuannya sebelum menginformasikan temuannya? Atau tulisan tersebut hanya interpretasinya saja yang dibuat sedemikian rupa agar pembaca menganggap itu suatu fakta?"
Mari kita ngaji bersama tentang "Bener karo Pener", membedakan yang bener-bener benar dan mana yang kelihataannya saja benar.
Novel Belum Tentu Benar Mutlak
Sejauh saya menelusur karya tulis baik novel fiksi-non fiksi, lalu jurnal, esai, artikel, dan karya sastra lainnya, saya menemukan banyak temuan. Novel Fiksi, misalnya, kejadian yang dikisahkan dalam suatu novel fiksi tidak selalu benar-benar fakta, karena terkadang ia adalah imajinasi seseorang atas suatu kisah yang ia bangun lalu ia selipkan harapan dan keinginannya yang tidak pernah ia capai, makanya ia membangun narasi yang kaya akan alur cerita dengan pendekatan fiksi.Â
Begitupun Novel Non-fiksi, tidak juga selalu benar mutlak, karena sering saya temu novel-novel tersebut diselipkan persepsi pribadi penulis, opini dan imajinasi alur cerita tambahan dari penulis, sehingga tidak benar-benar terjadi pada fakta lapangan.Â
Dalam seni rupa contohnya seperti membuat patung atau lukisan realis yang ditambahkan unsur surealis oleh si pematung atau si pelukis. Saat sesuatu sudah ditambahkan atau tidak murni, maka ia sudah berbunyi makna yang beda lagi.
 Hal inilah yang sering membuat kritikus keliru dalam membaca suatu karya. Kritikus tidak akan keliru dalam mengartikan suatu karya, jika ia sudah mengkonfirmasi temuannya pada suatu karya kepada sang pembuat karya.
Kata kuncinya adalah : terkadang, ada kebenaran yang disamarkan sehingga terkesan ia adalah karya imajinasi, namun terkadang ada juga kepalsuan yang dimajinasikan sedemikian rupa sehingga mirip dengan kebenaran. Jadi, diperlukan ketelitian dalam mengkaji sesuatu.
Pada kolom tersebut Leila dengan bangganya mengatakan, "Dalam novel ini, kita bukan saja menghadapi kenyataan betapa di banyak desa di Indonesia masih saja ada pernikahan gadis di usia sangat dini,". Kata "banyak desa" seakan-akan mendiskreditkan desa-desa sehingga timbul reaksi bahwa perkotaan bagus dan desa tidak ada bagusnya.Â
Padahal novel tersebut belum tentu menggambarkan keadaan desa-desa yang ada di Indonesia. Mungkin hanya satu desa untuk latar tempat novel tersebut. Itupun belum tentu benar, bisa saja setting latar tempat adalah tempat yang diimajinasikan oleh si penulis.Â
Kecuali, Leila sudah mewawancarai dan mengkonfirmasi kepada penulis apakah "desa" yang ada pada novel adalah benar-benar desa di Indonesia atau rekaan semata.
Pada kata "Pernikahan gadis di usia sangat dini" dengan konteks "banyak desa di Indonesia" seakan-akan menggeneralisir dan memutlakkan bahwa konsep pernikahan seperti itu merata di semua desa, padahal ada desa-desa yang juga tidak memakai konsep seperti itu. Antara desa dan pernikahan usia dini, itu beda konteks.
Desa adalah tempat bukan mahluk hidup, sedangkan pernikahan usia dini adalah tindakan atau perbuatan yang artinya ia dilakukan salah seorang. Maka yang harus disalahkan adalah orangnya, bukan tempatnya, bukan segelintir orang didalam tempat tersebut.Â
Kecuali jika memang seluruh masyarakat di desa tersebut dan seluruh desa di Indonesia tersebut memakai konsep yang demikian, dan untuk hal ini jelas Leila harus turun ke lapangan, tidak bisa menginterpretasi hanya dari "novel" semata yang belum jelas faktanya. Terlebih lagi ia memakai redaksi "Gadis" dan "Desa" seakan-akan di setiap desa gadis akan selalu dinikahkan di usia dini.
Jika memang novel tersebut berbicara pernikahan anak, maka tulislah dengan redaksi "anak", pun jika novel tersebut berbicara pernikahan gadis usia dini maka Leila juga harus objektif; cukup menuliskan pernikahan anak, agar tidak terbentuk mindset "korban adalah selalu perempuan, pelaku adalah selalu pria". Karena, saat kita bicara tentang manusia, ya angkatlah manusianya, bukan angkat satu jenis tertentu sambil menjatuhkan satu jenis lainnya.
Jangan ada politisasi didalam persoalan kemanusiaan humaniti. Tidak semua pernikahan usia dini korbannya adalah perempuan, melainkan anak-anak. Bisa saja korbannya adalah laki-laki, namun dialihkan jadi perempuan untuk kepentingan suatu karya fiksi, untuk kepentingan dramatisasi, untuk kepentingan agar suatu novel bisa laku dipasaran. Bisa saja pelakunya adalah orangtuanya, ayah dan ibunya, dan korbannya adalah anak laki-laki dan anak perempuan. Jadi ada banyak kemungkinan untuk suatu perkara.
Suatu karya non-fiksi saja, untuk mengkritisnya perlu dilakukan penelusuran mendalam, tidak bisa asal main memutuskan dan menyimpulkan. Perlu ada rumusan tesis VS antithesis VS sintesis, hingga lahirlah suatu konklusi dari proses tersebut.
Novel fiksi belum tentu benar mutlak, maka suatu interpretasi terhadapnya jugalah jangan terlalu berlebihan, jangan terlalu dramatis dalam memaknainya, apalagi terlalu subjektif.
Adilkah atau Masih Tidak Adil
Setiap manusia punya hak untuk berinterpretasi atas suatu karya, namun jika interpretasinya tidak adil apa yang bisa kita petik darinya? Apakah subjektif dan menjatuhkan satu sisi lainnya, adalah keadilan? Saya pikir tidak ada keadilan didalam konsep tersebut.
Dalam kolom tersebut, leila mencatut undang-undang tentang perkawinan berkonteks batas usia minimal, undang-undang tersebut berlaku bagi laki-laki maupun perempuan, yang artinya ia objektif, adil.Â
Namun ada kepentingan apa ia mencatut undang-undang dalam mengkritisi suatu karya fiksi? Seakan-akan karya fiksi tersebut kisah nyata, benar adanya, benar pelakunya, benar lokasinya, dan harus diusut dibawa ke ranah hukum ke oengadilan dengan segena perangkat hukum hakim persidangan..Â
Bahkan sampai ia pun berani menyimpulkan bahwa kisah dalam novel tersebut adalah representasi atau gambaran dari peneguhan sikap patriarkis seperti yang ia katakan, "Peneguhan sikap patriarki di dalam sebagian masyarakat Indonesia yang lebih memperlakukan perempuan sebagai properti". Kalimat ini jelas kalimat politis, mempolitisir suatu hal dengan pendekatan interpretasi, karena mencatut "patriarki".
Dalam kolom tersebut, ia selalu membahas perempuan, anak perempuan, pernikahan anak perempuan, "korban" nya adalah perempuan, ketidakadilan terhadap perempuan, ketidakmanusiaan terhadap perempuan, sambil menyematkan istilah 'patriarki'.Â
Apa maksud dan tujuan dari kolom Leila Chudori ini? Kolom tersebut ia bangun sedemikian rupa untuk kepentingan apa? Jika memang ia peduli dengan perempuan, mengapa narasinya sendiri selalu berbicara keterpurukan yang dialami perempuan? Itu sama saja dia sendiri yang melemahkan perempuan.Â
Satu pertanyaan refleksi untuk konteks diatas : jika dalam novel tersebut korbannya adalah anak lelaki, pelakunya adalah ibunya, dengan alasan materialism atau perekonomian, apakah Leila juga sepeduli itu? Karena jika tidak, maka interpretasinya jelaslah tidak adil, kemanusiaannya pun juga tidak adil, dan tidak ada keadilan dalam konsep tersebut; memihak berdasarkan kepentingan.
 Analoginya seperti ini : jika di suatu daerah ada pernikahan usia dini, korban tidaklah selalu perempuan, karena yang menikahkan adalah orangtuanya, yang artinya korban adalah si anak itu sendiri, perempuan dan laki-laki, dan pelakunya jelaslah orangtua tersebut.Â
Orangtua menikahkan anak perempuan/laki-lakinya terhadap perempuan/laki-laki yang lain, pasti ada sebab-musabab, entah itu perekonomian, hutang, atau ambisi kekayaan, atau karena ingin mengamankan anaknya dari pergaulan bebas diusia dewasa kelak, atau karena ketidaktahuannya bahwa anak adalah penerus yang harus dijaga dirawat dilindungi. Yang artinya, kita sebagai pihak ketiga yang ingin berinterpretasi, jangan subjektif dan mudah menilai tanpa mau tahu sebab-musabab suatu hal, hulu-hilir suatu kejadian.Â
Narasi-narasi dalam kolom tersebut jelas narasi yang ngaco, penafsiran suatu karya yang sembarangan dan terlalu politis, apalagi melibatkan kata "patriarki" seakan-akan novel tersebut adalah gambaran dari desa-desa di Indonesia yang memakai sistem patriarki.
 Objektiflah kita dalam membaca mengkaji sesuatu, bukan siapa yang salah tapi apa yang salah. Jangan politis, jangan berkedok keadilan tapi konsep pemikiran sendiri malah tidak adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H