Mohon tunggu...
semutmerah
semutmerah Mohon Tunggu... Psikolog - Bukan untuk dikritisi, tapi untuk direfleksikan

Serius tapi Santai | Psychedelic/Progressive/Experimental | Memayu Hayuning Bawana

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Anak dan Pendidikan Tak Mendidik

25 Juli 2017   15:51 Diperbarui: 23 Juli 2019   18:16 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (milik pribadi)

Pendidikan saat ini patut diperhatikan sistem serta pola-polanya, mengingat jalannya proses sistem pendidikan yang terkesan memaksa atau menekan siswa. Jika selama ini aspirasi mengenai pendidikan adalah pendidikan hak sebagai warga Negara, atau pendidikan harus merata ke berbagai daerah, atau pendidikan harus menyentuh semua elemen, mari kita lihat sejenak pada konteks pola pembelajaran dan tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Beberapa waktu yang lalu diterapkannya UNBK atau Ujian Nasional Berbasis Komputer bagi siswa yang ingin ujian kelulusan. Sistem dan konsep ini bagus diterapkan, katanya. Namun nyatanya malah terasa memaksa siswa mengikuti apa yang belum menjadi kapasitas diri mereka. Pertanyaannya apakah semua siswa di Indonesia ini melek tentang teknologi? Sudah pasti belum tentu semua siswa mempunyai keahlian dan kapasitas ini.

Komputer atau alat ujian nasional lainnya yang berbasis teknologi belum bisa diadaptasikan dan dialokasikan pada sekolah-sekolah yang ada di pedesaaan atau pedalaman, mengingat proses pembelajaran didaerah tersebut disesuaikan dengan kemampuan siswa, yakni tahapan baca-membaca, tulis-menulis, hitung-berhitung. 

Sudah sampai tahapan ini saja sudah syukur akan perkembangan siswa, namun sering kali pembelajaran berbasis teknologi dipaksakan kepada pelajar, sehingga tidak sedikit pelajar yang kesulitan dan tertekan dengan system pembelajaran tersebut.

Dalam hal jaringan atau koneksi serta persediaan listrik. Bukan satu dua tiga kasus dimana siswa-siswa ketakutan terhadap matinya listrik saat ujian atau buruknya jaringan pada saat ujian, sehingga siswa sulit untuk menjawab soal-soal ujian dikarenakan sudah tertekan dengan kondisi yang demikian. 

Belum lagi sekolah yang tidak mempunyai fasilitas komputer, banyak siswa-siswa dipindahkan ke sekolah lain yang mempunyai fasilitas computer walau menempuh jarak puluhan kilometer. Hal tersebut sangat memaksa siswa dan memberi tekanan kepada siswa (rasa depresi), karena proses tersebut sangat menganggu kestabilan berpikir siswa.

Seperti contoh kasus di Balikpapan dalam hal ketersediaan listrik, atau di Tegal dalam hal perpindahan siswa dari sekolahnya ke sekolah lain yang jarak tempuhnya berkilo-kilometer dan menguras pikiran, atau di Gunung Kidul dan Depok yang ujian nasionalnya bersesi-sesi (dibagi-bagi rentang waktunya) dan ketersediaan komputernya belum memadai, atau di Bandung yang dalam hal ini mengalami kesulitan jaringan sehingga harus diperbaiki saat ujian nasional. 

Kesemua hal diatas sangat tidak melihat kontekstual siswa, semua siswa disamaratakan menelan apa-apa yang belum saatnya ditelan oleh mereka. Memaksakan dan menyulitkan.

Belum lagi baru-baru ini ada diskriminasi yang dilakukan pihak sekolah terhadap calon siswi yang ingin belajar disekolah tersebut. Hanya karena siswi tersebut mempunyai penyakit yang harus diobati dengan pelayanan transfuse darah 2 bulan sekali, pihak sekolah merasa keberatan dan merasa dibebani oleh calon siswi tersebut. 

Alasannya diperkuat dengan pernyataan bahwa siswa-siswi yang belajar disekolah tersebut adalah siswa-siswa yang umum, yang dalam artian tidak memiliki penyakit atau kelainan lainnya. Ini sangat jelas mendiskriminasi dan mematikan hak anak untuk mendapatkan akses pendidikan dan akses memperoleh informasi.

Dari contoh-contoh kasus diatas, sudah jelas program Ujian Nasional Berbasis Komputer sangatlah tidak efektif bahkan sangat belum bisa diterapkan kepada siswa. Siswa bukanlah kelinci percobaan, dimana siswa yang belum mengerti computer harus dipaksakan mengikuti ujian basis computer, seakan-akan pendidikan di Ibukota yang sudah melek teknologi layak diterapkan ke berbagai daerah yang notabene masih belum memasuki tahap tersebut. Alih-alih agar semua siswa cerdas dan pintar, malah memblunder.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun