/i/
Sia-sia saja detik bergerak berdetak di rasa,
yang kugenggam telanjur sudah dan tanpa aba-aba.
Ketika kita saling bertukar bola mata, setara berdua atau satu sama.
Saat aku gagal membaca setiap gerak-geriknya,
kau malah berhasil sampai dengan peta
lalu menenun helai demi helai menjadi baju penghangat warna jingga.
Aku akan pulang dengan segera,
menemui panjang kedua lenganmu yang apa adanya,
yang kau tenun helai demi helainya sebagai baju penghangat warna jingga.
/ii/
Dunia ini sedang gila sehingga kau menjadi korbannya,
kata-kata terkesan meronta acapkali muncul tiba-tiba.
Telinga kanan kiriku tidak peduli, mereka masih baik-baik saja.
Jadi kita lihat saja bagaimana sebuah usaha,
mereka hanyalah bual juga omong kosong belaka.
Selama aku ada, aku bersedia.
Kata-kata mereka akan selalu menjadi umpama
dan akan kututup mulutnya di pejam matanya.
/iii/
Usahaku tidak sekadar jatuh di kata-kata,
kau akan selalu memiliki rebah paling tenang di tempat ini.
Tidak ada gerimis apalagi pecahan-pecahan kaca.
Aku harap kau bisa tertawa, paling tidak tersenyum lepas.
Jika sedang merasa tidak baik, di dapur ada beberapa piring dan gelas
bisa sewaktu-waktu kau pecahkan. Bebas,
tidak ada aturan tetap di rumah ini.
Nanti kubukakan jendela agar kau mereda, terkadang angin tahu caranya menghapus sedih.
Jika mencoba pergi, aku persilakan, tapi aku sarankan jangan.
Kemarin seseorang melakukannya dan ia tak kembali lagi.
/iv/
Suatu hari nanti aku akan lenyap terbawa angin musim.
Mungkin sebab penghujan atau kemarau
di setiap harimu yang tidak menentu.
Bukan lagi raga, hanya doa-doa dan dia.
Sepanjang perjalanan di jelang tidurmu saat kepalamu merebah di dadanya,
aku bagian terburuk selama itu.
Beri aku satu senyum saja,
akan kuberi beribu kebahagiaan sesaat
sampai kau menemukan sandar kepala yang tepat.
/v/
Pagi selalu siap menemani langkah demi langkah
seperti membuatmu bahagia.
Bukan hanya memberi senyum dan semangat di pagimu ini.
Dia tidak punya lelah untuk mengerti,
dia tidak pernah berhenti apalagi untuk mencintai,
karena bagian dari pagi ialah kau sendiri.
Aku selalu merasa beruntung mendapat kesempatan
yang tidak semua orang memilikinya,
memilikimu misalnya.
/vi/
Aku merasa jatuh di setiap kedipan matamu,
tanpa banyak kata, hanya senyum saja.
Ternyata seperti ini rasanya mencintaimu
dalam derap langkah yang luar biasa.
Setelah perjalanan panjang mencari ketenangan dan
kau menunggu di perempatan jalan
menunjukkan di mana letak hati yang sebenarnya.
Tetapi, mengapa mereka tidak juga paham;
mengapa kau mau menolong orang yang bernasib sial itu.
Apa jadinya seseorang yang buta arah itu jika tidak ada kau.
/vii/
Aku bukan lagi masa lalu.
Ketika menyakiti adalah kegemaran dan
kata-kata cinta hanyalah bualan.
Sekarang aku sadar,
bagaimana mencintaimu dengan wajar
dengan berbeda dan sukar.
Seperti angin yang menyentuh kulitmu
dengan puisi meredanya.
Sajak-sajak yang menerpa rambutmu,
tergerai indah suara iramanya.
Mencintaimu ialah kata dasar yang kulakukan
dengan sadar dan wajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H