[caption id="attachment_156702" align="aligncenter" width="640" caption="StandUpComedyIndonesia"][/caption] Sahabat Kompasianer, ini saya posting dialog saya dengan kawan Sutan Pangeran yang menggugat peran para juri atas penilaiannya saat Grand Final Stand Up Comedy, yang akan ditayangkan Sabtu, 17 Desember, mendatang. Penjelasan dan dialog saya dengan SP ini moga-moga bisa menjadi inspirasi bersama untuk memajukan jagat humor Indonesia! Salam. (bk) Bila Juri Jakarta Centris Menilai Grand Final Stand Up Comedy SUTAN PANGERAN: Apa jadi bila para Dewan Juri Grand Final Stand Up Comedy Indonesia yang diadakan oleh KompasTV, Rabu (14/12) malam didominasi oleh orang-orang yang berorientasi Jakarta adalah Mercusuar-nya Indonesia? Jakarta Centris? Jakarta adalah miniatur Indonesia, Jakarta adalah pemimpin nusantara, dan lain-lain penyebutan? Inilah yang terjadi dari dewan juri yang terdiri Indro Wakrop, Butet Kartaredjasa dan Astrid Tiar: Pertama, Mereka lupa bahwa silogisme yang disampaikan oleh Akbar adalah jauh lebih memukau dan bernilai lebih baik pada babak ketiga, saat Akbar menceritakan tema ke Bandara. Ia tidak terlepas dengan joke-joke yang mengawang-awang ke lain tema, kecuali tema Bandara dan pernik-perniknya. Joke Akbar lebih mengena bila dihubungkan dalam kepentingan kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan ini. Lihat saja bagaiamana Akbar mengatakan nasib TKI sama dengan nasib pakaian: dicuci, disetrika dan digantung! Lawakan ini tiada mungkin "sampai" dalam pikiran "anak mami" sekalipun. Berbeda dengan Ryan yang menampilkan gado-gado dengan didukung oleh gerakan yang lincah belaka dan kecepatan bicara yang memukau. Kedua, Para Dewan Juri tidak menilai nilai plus peserta yang jauh-jauh datang dari Surabaya dengan keterbatasan "suporting massa" yang pasti kalah banyak dari Ryan peserta dari Jakarta. Ketiga, Para Dewan Juri tidak melihat ke belakang bagaimana usai babak ketiga, para penonton berdiri memberikan aplaus (standing aplause) seusai Akbar mengakhiri penampilannya. Dan ini tidak terjadi pada penampilan Ryan yang kocak dengan gaya anak muda yang berkata lu-gue ; nyak-babe gue. Keempat, Para Dewan Juri lupa, bahwa untuk sajian kritik sosial lewat lawakan, adalah lebih piawai Akbar dengan kayanya tema dan bahan lawakan ekonomi,sosial,politik dan budaya (ekosobpol) Kelima, Dewan Juri yang perempuan lebih terpukau dengan tampilan fisik Ryan ketimbang keempat hal di atas yang mayoritas penonton ungkapan dari standing applause dan pengamatan dari SP yang lebih jeli dan lucu dari ketiga dewan juri (Minimal dari gaya penulisan atau bahasa tulis). Penilaian sudah usai, yang menang sudah jelas, yaitu Ryan dan runner up adalah Akbar. Namun, bagaimana pun Dewan Juri, boleh dung membaca penilaian ini? Karena di atas juri masih ada juri lagi, yaitu juri SP yang berada di balkon merah, sayap kiri. Sebenarnya, Akbar lebih pantas diberikan kesempatan untuk menang, ketimbang Ryan yang masih panjang karier dan seabrek modal lainnya yang dikagumi salah seorang juri di atas. Dan, Ryan masih bisa "dimenangkan" bila ditunjukkan untuk pangsa pasar entertain, sedangkan Akbar sangat pas bila dijadikan "duta masyarakat" yang ingin menyuarakan keluh kesahnya kepada para pemimpin lewat lawakan. Namun, lagi-lagi ketiga juri tidak membaca semua itu. Ini, karena mereka tidak mendapatkan "bisikan" dari SP ! He he he BUTET KARTAREDJASA: Bung SP, saya sependapat dengan anda. Bahkan semua juri pun saya kira juga begitu. Buktinya nilai yang terkumpul dari tiga juri membuktikan: jumlahnya sama persis. Mereka berdua bener2 berimbang. Saya sih lebih suka tidak ada yang tereliminasi. Mending ada juara kembar, seperti saya nyatakan dalam review sebelum keputusan diambil. Mudah2an anda masih ingat pernyataan saya soal kemungkinan "juara kembar" itu. Tapi, karena KompasTV menghendaki hanya ada satu juara, maka yang dijadikan pertimbangan selanjutnya adalah performa selama 13 episode. Di sinilah Akbar tumbang. Harus diakui selama 13 episode Ryan menunjukkan kemampuannya dengan stabil. Selama 13 episode Ryan selalu berada dalam posisi zona aman. Akbar baru menunjukkan kemampuannaya yang luar biasa, - jika tidak salah ingat - pada episode ke 7 atau ke 8. Saya lupa persisnya. Waktu itu Akbar saya puji habis. Catatan "sejarah" inilah faktor yang menyebabkan Akbar harus rela di posisi ke dua. Betapa pun, kita harus mengakui keduanya adalah komik yang hebat. Para penjenaka yang mau belajar, penjenaka yang lebih menghormati otak dan memuliakan kecerdasan. Mereka, juga komik-komik lain, adalah pemilik hari depan dunia komedi Indonesia. Selamat!!! SUTAN PANGERAN: Terimakasih, Mas Butet. Anda membuat SP senang hati dengan menjawab rilis ini. Ternyata anda mau mendengar suara hati juri di balkon neh. Mungkin, perlu di review balasan komen SP mengapa ada beberapa Nilai Minus yang terjadi pada Ryan. Pada putaran pertama, SP melihat keunggulan Ryan dengan dinamisnya bicara dan bergerak, namun begitu keluar lelucon yang tidak pantas (SP jamin, itu diedit meski ada kata MAAF dr ybs), maka SP tidak lagi kagum. Palagi secara konsisten di putara ketiga Akbar mempunyai tema Bandara dan piawai "berkomunikasi" dengan penonton yang heboh karena mengganggu "pendengaran" pada announcement pesawat yang take off. Semua berhunbungan terus dengan urusan Bandara dan keberangkatannya. Luar biasa. Ke depan, hendaknya nilai-nilai kesopanan juga menjadi ukuran hendaknya, kecuali bila konsumsi publik di areal tertentu seperti nigh club. Bravo! BUTET KARTAREDJASA: Bung SP. Seperti sudah kuterangkan, yang menentukan nasib menjadi juara memang BUKAN HANYA performance malam Grand Final saja. Jika patokannya hanya malam itu saja, mungkin saya akan rada ngotot untuk menjadikan mereka Juara Kembar. Namun, ya itu tadi: penyelenggara tetap menghendaki ada ranking. Maka jadilah track record dari 12 episode sebelumnya juga dijadikan pertimbangan. Saya yakin Akbar pun pasti mengakui keunggulan Ryan. Ryan benar-benar stabil sampai masa akhir kompetisi. Semua komik peserta SUCI mestinya tahu hal ini. Apa anda mengikuti semua episode? Betapa pun, saya mencoba memahami kompetisi ini adalah sebuah entertaimen dalam industri hiburan. Menang dan kalah itu sebuah tontonan. Ketegangan peserta adalah "hiburan" yang diperdagangkan, dan karena itulah harus ada pemenang dan pecundang. Soal batas "kesopanan"? Saya sih bukan sejenis manusia moralis yang cukup piawai mengukur batas-batas kesopanan dalam perkara verbalitas. Saya hanya meyakini bahwa orang yang bisa menerima asupan kejenakaan dalam sebuah stand up comedy, pastilah orang-orang terdidik seperti anda, orang-orang yang waras jiwanya, sehingga karenanya bisa memilah mana guyonan dan mana fatwa-fatwa moral. Yang open mic maupun yang nonton sama-sama batas koridor kesopanan itu. Verbalitas dalam kejenakaan itu hanya akan memancing sebuah imajinasi, selaras dengan kadar intelektualitas penontonnya. Apakah sebuah imajinasi bisa diukur untuk kemudian dipersalahkan? Saya pun yakin, untuk versi tayangannya kelak, pasti KompasTV juga punya ukurannya tersendiri, mengingat keberagaman audience-nya. Untuk canda seperti yang disajikan Ryan dengan penonton terbatas dan orang-orang terdidik, bagi saya, bukanlah perkara yang terlalu serius untuk digunjingkan. Untuk mengurus perkara moral, terus terang saya belum terlatih untuk jadi manusia munafik. Soalnya, jika perkara verbalitas itu dipermasalahkan, mungkin sebagai juri saya yang paling layak untuk dibuang. Lha saya hobinya mengobral pujian dengan kata "asu" dan "juancuk",...pasti harus lebih dulu di-drop. Kalau di-drop malah enak, nggak usah ke Jakarta dan bisa *** istriku di rumah. Tuh kan,....jorok ta? Nggak sopan ta....??? (Aku memang bego pol, belum sukses jadi pejuang moral,..ha ha ha). Wasaalam. SUTAN PANGERAN: He he he, Mas Butet...SP mesti ucakan 5 X terimaksih neh. Karena ada 5 paragraf yang anda sampaikan. Walau pergaulan mayoritas orang Suroboyoan, dan pernah juga (!) berkata "encuk" pada kawan2 terbatas terbatas, namun SP tidak otomatis menjadi orang orang Suroboyo tah. Pada saat anda mengatakan kata2 dalam tanda petik itu, SP malah berpikir "wah menang neh Akbar! Habisnya sudah keluar kata-kata gaul dalam bahasa Jatim. Harapan SP tinggal pada Astrid yang memang sudah "kesengsem" sejak awal pada Ryan". Namun, pembelaan SP ternyata sama dengan saat kami mendengar Ketua MK saat pengajuan judicial review meminta peninjauan UU No.7 Tahun 2004 di MK soal UU Sumber Daya Air yang mengatakan,"Sudahlah kami sudah paham benar dengan penjelasan para pemohon....". Ucapan itu seakan memberi gambaran, bahwa pemohon akan dikabulkan (GR). Eh, ternyata meleset. He he he. Ini persepsi keliru yo, mas Butet. Kata-kata yang menyejukkan belum tentu bermakna BAIK untuk pemohon saat itu, sama dengan kata-kata YANG KURANG BAIK belum tentu juga sebuah "keberpihakan". Mas Butet yang lucu, saya jadi penasaran, apa ya SP juga bisa/mampu melucu di depan anda dan khalayak ramai?! Jadi sebuah tantangan. Namun, tentu harus latihan dan latihan. Dan kalau bisa, saya nggak melamar untuk ikut, tapi dilamar untuk ikut! Ha ha ha. Maaf Mas Butet, waktu nikah dulu sama perempuan Minang, "SP juga 'dilamar' oleh pihak keluarga perempuan". Ha ha ha Untuk kelimakalima-nya, SP ucapkan terimakasih, pada sahabatku, Mas Butet! Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H