Mohon tunggu...
Masbukhin
Masbukhin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha dan Pelaku E-Commerce

Gemar membaca, apa saja

Selanjutnya

Tutup

Book

Buah Tangan Bernama Life Traveler

5 Juli 2024   19:34 Diperbarui: 5 Juli 2024   19:43 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Namun saya menduga; sang traveler pastinya movie freaker, terlebih drama. Sebab banyak tercecer remah kisah bak ikonik scene film drama.

Pada 'Not Foriegners' ada kisah; sang traveler lari keluar rumah saat salju (pertama) turun, hanya berpiyama dan sepatu kets. Di luar, bermain saling melempat bulir salju dan ditutup membangun snowman. Dialog dan penggambarannya mirip scene banyak film drama dengan tema musim dingin dan natal.

'Satu Malam di O'hare' juga sebuah fragmen yang khas film drama. Sang traveler sendirian di bandara, didekati seorang tua pelayan restoran masakan Cina. Si nenek menyodorkan tea hangat (gratis) pengusir dinginnya hujan. Lalu mereka pun berbincang, mendalam, tentang kehidupan. Sebelum berpisah, si nenek memainkan fungsi klimaks; memberikan satu dua wejangan yang bakal diingat dan terngiang oleh sang traveler.

Paling ikonik ada di halaman 115-117; sebuah scene drama romantis. Satu pasangan berdiri menghadap air mancur harapan. Mereka bergantian melempar koin sambil mengucap (dalam hati); masing-masing keinginan. Tentu bisa ditebak maksud keduanya; (tidak jauh-jauh) dari harapan untuk bisa selalu bersama. Apalagi setelahnya, mereka hanya duduk diam, semalaman, dengan tangan saling mengenggam. Oh, so sweet...

Selain scene, tokoh dan momennya juga ikonik; yaitu pedagang dan belanja, sebagai medium dialog. Di Praha, dialog tentang persahabatan terjadi dengan Petr Prediger; pemilik 'warung' Wings Club. Dialog tentang nilai kejujuran terjadi di Heidelberg; dengan seorang kakek tua, penjaga toko tanpa nama. Dan lagi-lagi dengan seorang kakek penjual buah di Lucerne, Swiss, sang traveler berdialog tentang kehangatan dan kebahagiaan.

Dan pada akhirnya, semakin benarlah kata pepatah; gajah di pelupuk mata tak kelihatan, kuman di seberang malah tampak nyata. Berbekal remah kisah perjalanan dari luar negeri --dalam nukilan waktu yang sempit- seseorang (ternyata) mampu tampil sempurna; sebagai monolog, katalog, dan juga pendialog. Namun mereka berubah lebih pendiam dan asyik menonton, saat mengisahkan hari-hari panjangnya; memotret negerinya sendiri.

Sebuah perjalanan dengan kereta kelas ekonomi, di masa puncak Idul Fitri, tentunya petualangan yang unik. Perjuangan mempertahankan jatah duduk -seukuran pantat- di depan pintu gerbong, sepanjang 20 jam dari Malang ke Jakarta, juga tidak kalah seru dituturkan. Memandang pasrah seorang ibu tua, yang (hanya bisa) buang air di jatah duduknya, sebab kamar kecil sudah menjadi gudang tas dan bawaan, sungguh bernilai dialog yang mendalam.

Dan pada saat itu, tempat duduk sang traveler; .... tepat di depan si ibu tua.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun