Mohon tunggu...
masbogiek
masbogiek Mohon Tunggu... Pokoknya halalan thoyiban.... -

Nasehat bapak , " peso kuwi dienggo lan diasah ben ra kethul..."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mau Jongkok Dilantai Apa Mau Nangkring Diplafon? (2)

21 November 2013   13:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:51 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lanjut lagi…..

Ada sedikit pemahaman bagi saya mengenai keberadaan tempat kita bekerja sebagai karyawan dalam hal ini mohon maaf sebuah tempat usaha dan bukan kantor pemerintahan karena saya belum pernah berkecimpung disitu,saya menggunakan analogi sebuah rumah…. Iya RUMAH…tentunya para pembaca disini mayoritas tinggal di sebuah rumah bukan? Entah itu rumah besar,rumah mungil,RSS seperti saya dengan status numpang,indekost,sewa,ngontrak,milik sendiri,milik bersama,punya satu dan punya lebih dari satu.

Pun tak beda bukan dengan tempat kita bekerja,ada yang kecil,sedang,besar,besar sekali,besar banget,naudzubillah besarnye….dengan status mulai dari yang sekedar subkontraktor,kontraktor,supplier dan sebagainya.


Balik lagi kerumah…

Seperti apapun bentuknya bagian apa sih yang paling luas dan mampu menampung orang banyak…..?..........yak betul…LANTAI…..lantai mampu menampung paling banyak orang didalam suatu rumah,mau duduk bersila,selonjoran,tiduran,silakan.Sekarang mari kita lihat analogi tersebut,orang yang duduk di lantai resiko jatuhnya amat sangat kecil,jarak pandangnya hanya sebatas dinding rumah karena jendela masih terlalu tinggi baginya,sekali sekali saja bisa melihat dunia luar jika kebetulan pintu sedang dibuka,kemudian temannya lebih banyak yang bisa dijadikan tempat curhat.


Hal ini tak beda dengan karyawan disuatu tempat usaha dimana jumlah karyawan dengan level dasar menjadi jumlah mayoritas,mereka bekerja dengan resiko yang minimum (dimata perusahaan) ,yang penting bekerja sesuai aturan ( dibatasi pandangannya sebatas tembok rumah ).Apakah salah jika berada dalam kondisi tersebut? Tidak juga,bagi beberapa orang ada yang enjoy dengan posisi ini,yang penting rejeki jalan terus,dapur yang penting ngebul dan itu nilai plus yang sudah mereka dapatkan.


Kemudian kadang diantara orang yang duduk didalam rumah tersebut ada orang yang tidak betah duduk,dengan effort lebihnya maka ia rela mengambil resiko lebih tinggi dari orang yang duduk,yaitu berdiri….berdiri diantara orang yang duduk,dengan berdiri apa yang diperolehnya? Pandangan menjadi lebih luas,bisa melihat orang yang duduk agak jauh dari dirinya,bisa melihat dunia luar dari jendela walaupun masih dibatasi tembok rumah…yach minimal tahu duluan klo ada abang bakso atau cewek cakep lewat .Memang kadang ada pandangan negatif juga….tidak sopan berdiri diantara teman yang duduk di lantai,tapi apapun itu kadang terjadi juga.


Nah,ini adalah tipikal orang yang mau memberikan effort lebih pada tempat kerja,yang positif maksudnya,orang orang seperti ini biasanya lebih “terlihat” di tempat kerja dan biasanya pula dijadikan mandor untuk mengawasi pekerjaan rekan rekannya.Nah orang orang seperti ini mendapat tekanan dari dua pihak secara langsung,yaitu rekan kerjanya dan atasan langsungnya….apapun itu begitulah kondisi mayoritas mandor mandor di level awal.Apakah anda di posisi ini? Terimalah dengan lapang dada bahwa itu posisi anda saat ini,nilai plusnya adalah anda sudah berani meninggalkan “comfort zone” anda he…he…


Berikutnya….

Ternyata ada orang yang nekat….mereka naik ke plafon rumah yang pijakannya lebih rapuh dari lantai,rawan jatuh atau merusak rangka plafon,namun dari situ ia bisa melihat kebawah lebih luas dan melihat sekeliling lebih jauh,bahkan rumah tetangga lain erte bisa ia lihat,tentu usahanya untuk bisa sampai naik keatas plafon tersebut bukannya tanpa perhitungan karena resikonya lebih tinggi,selain ia bisa jatuh dan terluka,rangka plafonnya pun yang merupakan bagian dari rumah bisa ikut rusak.


Orang orang ini ibaratnya adalah mandor tingkat lanjut,dimana berani menerima resiko yang diberikan yang ibaratnya jika ia gagal bukan hanya dirinya yang rugi namun juga ada bagian dari tempat kerjanya yang merugi,orang tersebut juga mengerti apa yang akan dihadapi oleh tempat kerjanya,apakah peluang atau ancaman yang harus ia terjemahkan ke level dibawahnya,tak heran orang orang ini menerima imbalan yang lebih besar sepadan dengan resiko yang diembannya.


Kemudian…

Ada orang gila yang berani duduk diatap rumah,dimana rata rata atap bentuknya miring dan tidak sesolid lantai,apabila salah langkah maka atap rumah bisa jebol dan orang orang dibawahnya ikut menerima akibat dari langkahnya bila keliru.Namun diatas ia bisa melihat pemandanga yang lebih jauh lagi,lapangan bola kelurahan sebelah pun ikut nampak dilihatnya,mau ada tamu bawa rejeki atau gerombolan tawuran yang mendekati rumahnya ia lebih tahu terlebih dahulu.


Siapa orang ini?....biasanya mereka adalah orang orang level manajerial yang harus mampu menangkap peluang yang lewat atau mengantisipasi ancaman yang datang ke tempat kerjanya jauh jauh hari sebelumnya yang efeknya nanti bisa menentukan keberlangsungan hidup dari tempat kerjanya.


Nah,dimanapun posisi saya,saya harus menyadari nilai lebih apa yang saya dapatkan,jika saya ingin mengambil imbalan yang lebih tinggi maka saya harus memberikan effort lebih yang dapat diterima oleh tempat kerja saya.Kemudian siapa yang menentukan apakah effort lebih tersebut ada nilainya? Tentunya tempat saya bekerja yang menentukan,bukan saya.

Ibaratnya begini,ada abang bakso yang merasa sudah membuat bakso yang terlezat sedunia maka siapa yang menilai apakah baksonya itu enak atau tidak…? Tentunya yang beli bakso kan…..bukannya abang bakso yang ngotot baksonya terlezat sedunia…..

Loh kok jadi kaya jual beli antara karyawan dan perusahaan…? Memang pada akhirnya begitulah yang saya alami selama ini walaupun dengan berganti ganti juragan…..mungkin ada pengalaman yang lain?


Terakhir….kemudian siapa yang punya rumah? Yang punya rumah yaaaaaa……abang bakso pada tulisan saya yang jilid satu dulu…ha…ha…ha…..bisa dibayangkan betapa besar resiko “si pemilik rumah”,jadi tidak ada istilah kalau usaha sendiri itu lebih santai,atau memang mau santai penghasilannya? He…he…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun