Mohon tunggu...
Teja Baskara
Teja Baskara Mohon Tunggu... -

merenungkan, dan berusaha mencermati dibalik fenomena-fenomena

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menodai dan Memperisteri Calon Menantu

17 Januari 2014   01:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:46 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Penyesalan datangnya selalu setelah berkesudahan dan setelah terjadi, walaupun apa yang tejadi dan yang dilakukan dalam kehidupan tidak selalu sesuai dengan apa yang direncanakan, bahkan tidak terbesit sedikitpun pada pikirannya, apalagi keinginannya. Inilah gambaran sifat jiwa manusia yang menyesali diri. Menyesal sering di kaitkan dengan karena lupa, karena khilaf, lalai, dan lainnya, dan itu semua akibat dari sifat jiwa pula, yaitu jiwa yang mendorong kepada perilaku keburukkan.

Normatifnya, apabila dua sifat jiwa tersebut diatas yang ada pada diri seseorang dapat diwaspadai dan memanage maka akan berubah menjadi jiwa yang tenang (muthmainnah). Namun sayangnya orang berilmu tinggi, relegius, kharismatikpun tidak mesti berhasil untuk mewaspadai akan sifat sifat jiwa, untuk menghindarkan perilaku keburukkan, bahkan tidak jarang justru mereka yang seharusnya menjadi teladan dan diteladani, malah terjerumus dan menjerumuskan diri dalam kubangan hina dan nista. Ketiga sifat jiwa ada pada setiap manusia, baik pria maupun wanita, tua dan muda, intelektual-awam, guru-murid, maka ingat dan waspada adalah pegangannya, tanpa pegangan itu kerusakkan dan kesengsaraan adalah bagianya.

Konon, Seorang gadis cantik berdarah bangsawan, yang sedang belajar dan memahami ajaran agama, saking menggebunya dia melahap setiap bab kitab suci, bagian demi bagian difahami sampai memakan waktu cukup lama. Tentunya ayahnya merasa bangga meskipun kadang terbesit rasa cemas, karena anak gadisnya menjauhi pergaulan dengan lingkungannya, dengan pemuda yang mendekatinya, dan ia selalu mengurung diri. Itulah Dewi Sukesi nama gadis itu, dia sedang mengalami kebuntuan akal dan pikirannya, karena apa yang akan difahami sudah diwilayah ilmu Tuhan, pengetahuan tentang realitas Tuhan, yang disebut “sastrajendra”. Sastrajendra terdiri dari kata : Sastra berarti ilmu/ngelmu atau knowledge, Jane atau jan-jane (jawa) berarti sesunggunhya atau riil, dan Narendra berarti Gusti, Sesembahan atau God. Jadi Sastrajendra berarti The Real Knowledge of God.

Pada suatu kesempatan, ayahnya yang seorang raja yaitu Prabu Sumali, menanyakan kepadanya dengan keteduhan sebagai seorang ayah ; kapan kamu mau menikah anakku ?, sudah banyak pemuda ksatria yang kau tolak lamarannya, Nini !? Jawab Dewi Sukesi sangat mengejutkan ayahnya. Ayah, bikinkanlah pengumuman sayembara, “siapa yang bisa membabarkan dan mengajarkan kepadaku sastrajendra, kalau ia laki laki itulah aku anggap jodohku (jatukramaku) dan aku terima lamarannya serta aku bersedia menjadi isteri untuk mengabdi selamanya, dan apabila  wanita aku jadikan ia saudara dan sahabat karibku (sedulur sinarawedi)”.

Dalam waktu singkat pengumuman sayembara sudah menyebar, dan untuk yang kesekian kalinya, datanglah seorang yang mempunyai charisma tinggi untuk mengikuti sayembara, ketika itu Prabu Sumali sangat terperanjat melihat siapa yang datang karena memang sudah mengenalnya. Kenapa ikut sayembara, bukankah dia sudah mengikat tangan kirinya, sebagai tanda tidak “laku ngiwo” (kiri=kiwo=jawa) sebagai lambang janji dan tekad diri untuk tidak melanggar aturan, dan berbuat a susila. mungkur ing kadonyan,  menyingkiri nafsu nafsu angkara, dan nafsu jahatnya. Didalam hati Sang Prabu menolak melihat sahabatnya yang sudah menjadi Guru itu, dengan sebutan, Begawan atau Resi, dialah Begawan Wisrawa. Seorang tokoh Agama, religious, spiritualis tingkat tinggi, yang sudah menguasai sastrajendra dengan sempurna, dia pula seorang Guru yang kwalivait sesuai bidangnya. Namun kecutnya hati Prabu Sumali tidak berlangsung lama, raut mukanya menjadi sumringah, cerah sebagai ekspresi kebahagian, setelah mendengar penyampaian keinginan Begawan Wisrawa, bahwasanya dia ikut sayembara hanya mewakili anaknya yaitu Prabu Danapati seorang raja muda Negara Lokapala yang tampan dan tentunya sangat serasi bila nanti bersanding dengan putrinya sebagai permaisuri, dengan sebutan “Putri Nata ginarwo Narendra”, putri raja menjadi permaisuri seorang raja pula.

Singkat cerita, Dewi Sukesi dengan khidmat menerima ajaran dari Begawan Wisrawa, ia berguru dengan sungguh sungguh, semua petunjuk dilaksanakan dengan penuh kesentosaan hati, progress dan prestasinya mengagumkan, melihat semua itu, maka sang guru hilang kewaspadaanya, lupa apa yang diajarkan adalah ngelmu/ilmu sinengker, esoteric, tidak boleh diajarkan secara instant, harus mengikuti dan mangamati perkembangan ruhani penerima atau muridnya sesuai usia kedewasaanya. Namun yang diingat hanya misi sebagai duta untuk menjodohkan anaknya dengan gadis idamannya, lebih cepat lebih baik demikian harapannya. Inilah perilaku “nggege mongso”, menyegerakan tindakkan untuk mencapai tujuan, yang mestinya tidak bisa disegerakan. Inilah perilaku gegabah, perilaku yang timbul dari nafsu (amarah).  Demikian juga sang murid, merasa tahapan demi tahapan sudah bisa dilalui, maka dengan ambisinya bertekad untuk segera menyelesaikan tahapan akhir tanpa ada yang memperingatkan bahwa sesungguhnya apa yang diterima sudah melampui kekuatan dan kapasitas ruhaninya. Maka keharmonisan lahir dan batinya terganggu, mengakibatkan kontra produktif dan bergolak nafsunya dalam dada dan pikirannya. Bukan esensi ilmu yang didapat tetapi keindahan harapan ilmu yang dirasa, belum  mencapai puncak (gunung) ilmu, tetapi terpikat dengan semerbaknya bunga bunga ditepi jalan yang menuju puncak gunung itu.

Nafsu ketemu nafsu gagalah sang pengajar dan yang diajar, (gagar wigar) gagal total usaha sang guru dengan sang murid,  gagal membabar ajaran yang akan diturunkan, ajaran sinengker yang digapai dengan instant, secepat nafsu ketemu nafsu, meneguk madunya sementara, menimbulkan kesadaran hina dan nista yang berkelanjutan. Nasi sudah menjadi bubur, maka menghadaplah Sang Dewi kepada ayahndanya, didamping oleh calon suaminya, yang semula itu calon bapak mertuanya. Sedangkan sang guru mestinya menemui kepada calon besannya, tetapi sekarang yang dihadapi adalah calon bapak mertuanya. Ironis !? Hanya ada satu cara untuk sedikit mengurangi beban batin calon mertuanya, yaitu dengan memperistri muridnya atas pertanggungan jawab perbuatannya. Maka calon menantu dan calon bapak mertua menjadi suami istri yang resmi dan sah.

Inilah lintasan garis kehidupan yang disimbolkan oleh pujangga dalam cuplikan hikayat wayang purwo, dengan lakon “ambabar wahyu sastrajendra”, dengan alur cerita penuh sentuhan jiwa, dramatikal kemanusiaan yang mengingatkan betapa pentingnya kewaspadaan dalam menghadapi situasi dan keadaan, agar tidak lengah, tidak lalai, tidak khilaf atas ujian dalam bentuk kenikmatan dari Tuhan. Keturunan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi, kelak akan menjadi peran utama sebagai pengumbar nafsu angkara murka dan hancur lebur karenanya dalam epos Ramayana….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun