Mohon tunggu...
Masayu Aisya
Masayu Aisya Mohon Tunggu... Mahasiswa - International Relations

•just do my best•

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Nuklir: 2 Sisi dalam 1 Materi (Sivis Pakem Para Bellum)

30 November 2021   13:36 Diperbarui: 5 Desember 2021   10:11 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Dalam studi Ilmu Hubungan Internasional, mempelajari perdamaian sudah menjadi makanan pokok yang tak akan dilewati. Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional, saya telah sering terasupi dengan kata perdamaian dunia, sebab perdamaian adalah tujuan akhir dari semua pelajaran yang diberikan dalam Ilmu Hubungan Internasional. Seperti yang diketahui bahwa Ilmu Hubungan Internasional merupakan ilmu multidisiplin, yang berarti ilmu yang menyerap berbagai macam ilmu lain seperti sejarah, hukum, sosiologi, filsafat, politik, ekonomi, dan berbagai ilmu lainnya, namun tentu dengan menggunakan kacamata politik internasional. Sebelum saya menjadi mahasiswa Hubungan Internasional, sebenarnya saya adalah manusia yang apatis akan dunia perpolitikan. Saya tidak peduli siapa yang akan menjadi presiden Indonesia, apalagi tentang presiden Amerika Serikat, benar-benar bukan urusan saya. Saat mendengar kata politik, yang langsung terlintas dalam benak saya ialah "kotor". Lantas, setelah mengetahui bagaimana dunia politik, apakah saya tidak menganggap lagi bahwa politik demikian? Jawaban saya sampai saat membuat tulisan ini adalah tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi memang saya menjadi tahu akan pentingnya politik, setidaknya sampai dunia ini masih mengadopsi sistem pemerintahan baik itu kenegaraan maupun kerajaan. Dosen saya pernah berkata, tanpa politik dunia akan hancur. Kok bisa? Bukankah karena politik justru dunia berantakan akibat perang? Lalu beliau melanjutkan, tanpa ada politik maka di dunia tidak akan ada aturan yang mengikat manusia. Jika tidak ada aturan di seluruh dunia, apa yang akan terjadi? Yang terjadi tanpa adanya aturan di dunia adalah berlakunya hukum rimba, dimana yang kuat akan menjadi penguasa dan dapat seenaknya menindas yang lemah tanpa batasan. Sudah memiliki aturan saja, yang kuat masih berkuasa dan yang lemah akan sengsara, apalagi ketika tidak ada aturan. Begitulah kira-kira penggambaran mengenai pentingnya politik. Politik tak bisa dilepaskan dari manusia itu sendiri. Tanpa disadari, politik menjadi bagian dari cara manusia dalam menjalani hidup. Jadi mau sebenci apapun kita sama politik, politik akan tetap ada untuk menjadi tata aturan dalam dunia kita. Walaupun kita membenci wajah kita sendiri karena banyak jerawat, tapi kita juga tidak mungkin mau memotong dan membuang wajah kita. Yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki wajah kita dengan cara merawatnya agar jerawat-jerawat yang memalukan itu, bisa berkurang bahkan menghilang selamanya. Masuk dalam dunia Hubungan Internasional yang kental akan politik, berhasil mendewasakan pola pikir diri saya sendiri dalam melihat hidup. Tentu saya tidak sempurna, karena saya juga manusia yang tak luput dari keburukan. Hubungan Internasional mengajari saya untuk menilai segala hal dengan menggunakan perspektif dari pihak-pihak yang terlibat. Bawang Merah dikatakan tokoh yang jahat karena telah memperlakukan Bawang Putih seperti pembantu. Apakah Bawang Merah sudah pasti bersalah? Belum pasti juga. Untuk mengatakan Bawang Merah bersalah, kita harus mengetahui dahulu penyebab dari sikap Bawang Merah tersebut. Jadi pertanyaannya adalah mengapa Bawang Merah bersikap demikian? Jawaban dari pertanyaan inilah yang harus ditelusuri, kemudian menilainya dengan tetap menggunakan akal sehat. Demikian halnya dalam melihat peristiwa-peristiwa dalam ruang lingkup internasional. 

Setiap pihak yang terlibat, dalam konteks Hubungan Internasional yakni aktor negara dan non negara, memiliki perspektifnya masing-masing dalam bertindak dan mengeluarkan kebijakan. Pastinya tiap negara akan berusaha untuk melindungi keutuhan dan kedaulatannya. Hal tersebut sudah merupakan sesuatu yang vital dalam negara. Pengalaman pahit akan perang, menjadikan negara takut dan waspada akan segala ancaman. Dalam hal keamanan militer, negara akan melindungi dirinya dengan memiliki personel tentara dan persenjataan yang kuat, banyak, dan modern. Begitu pentingnya keamanan negara untuk tetap terjaga. Sampai-sampai, suatu negara berani untuk mempunyai dan membuat senjata nuklir. Ya, senjata yang jika diluncurkan akan menghancurkan makhluk hidup termasuk manusia dalam hitungan detik. Kejamnya dampak dari penggunaan senjata nuklir dapat kita lihat dari peristiwa pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki, yang mana pada saat itu langsung membuat Jepang mengakui kekalahannya. Implikasi dari bom tersebut bukan hanya menghancurkan alam dan lingkungan saja, tetapi juga mengakibatkan besarnya jumlah korban kematian manusia bahkan terdapat efek jangka panjang akibat radiasi nuklir bagi mereka yang masih selamat. Tentu ini bisa dikatakan sebagai pelanggaran besar terhadap hak hidup manusia, terutama terhadap masyarakat yang tidak bersalah. Namun nyatanya bukan hanya 1 atau 2 negara saja yang memiliki senjata nuklir, telah cukup banyak negara yang mempunyai senjata nuklir seperti Korea Utara, Rusia, Amerika Serikat, China, Perancis, Inggris, Pakistan, India, dan lainnya, bisa saja akan bertambah di masa depan (Saptoyo, 17 September 2021). Sehingga dengan banyaknya jumlah negara yang mempunyai senjata mematikan tersebut, apakah perdamaian dunia menjadi hal yang mustahil?

Senjata nuklir eksis pada era Perang Dingin. Perang yang aktor utamanya melibatkan dua negara superpower saat itu yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Uniknya perang ini tidak terjadi seperti perang besar sebelumnya yaitu Perang Dunia 1 dan Perang Dunia 2. Perang ini terjadi secara besar namun tidak terdapat aksi saling serang-menyerang langsung antara kedua negara yang berkonflik tersebut. Maka dari itu, perang ini disebut sebagai Perang Dingin. Amerika Serikat dan Uni Soviet berselisih karena perbedaan ideologi yang mereka anut, persaingan antara liberal-kapitalis dan sosialis-komunis dalam menjadi satu-satunya hegemoni dunia. Masing-masing negara tersebut terus berusaha menyebarkan ideologinya ke negara-negara lain, sambil bersaing dalam teknologi persenjataan yang mengakibatkan ketegangan tinggi antara keduanya. Termasuk juga mereka bersaing dalam persenjataan nuklir. Amerika Serikat dan Uni Soviet sama-sama terus mengembangkan senjata yang mematikan, akan tetapi tidak digunakan untuk menyerang langsung musuhnya. 

Penyebab yang paling kuat dari fenomena tersebut adalah karena terjadinya apa yang disebut dengan balance of power dan balance of terror. Balance of power terjadi ketika ada dua negara yang sama-sama mempunyai kekuatan besar dalam ruang lingkup internasional, dalam hal Perang Dingin yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Selanjutnya adanya balance of terror, yang tercipta akibat kedua negara yang mempunyai senjata-senjata mematikan termasuk nuklir. Kepemilikan nuklir oleh dua negara superpower tersebut berhasil menjadikan mereka sama-sama merasa terancam, sehingga timbul ketakutan untuk melakukan penyerangan terhadap lawannya. Sebab jika salah satunya berani melakukan penyerangan nuklir terlebih dahulu terhadap yang lain, memang hal tersebut akan melumpuhkan musuh. Tetapi tak menutup kemungkinan bahwa musuh akan melakukan serangan balik terhadap wilayahnya, maka ini pastinya juga akan merugikan dan melumpuhkan negaranya sendiri. Yang paling mengerikan ialah apabila kedua negara tersebut akan terus-menerus melakukan penyerangan nuklir satu sama lain, bahkan sampai di wilayah negara lain dimana proxy war berlangsung, maka pastinya kehancuran umat manusia akan segera terjadi selanjutnya. Tentu hal tersebut sungguh tidak diinginkan oleh kedua belah pihak, sehingga tidak ada yang berani untuk melakukan serangan terhadap satu sama lain. Dari sini dapat kita lihat bahwa nuklir ternyata memiliki dua sisi fungsi, yaitu sebagai alat penghancur dan secara bersamaan juga bisa menjadi alat pencegahan (detterence) perang. Nuklir terbukti mampu menjadi instrumen untuk menghindari terjadinya perang, ini dapat kita lihat dalam isu Perang Dingin. Senjata nuklir dapat menciptakan keadaan balance of terror, sehingga negara-negara enggan untuk melakukan penyerangan. Sebab, melakukan serangan pertama dianggap sebagai tindakan bunuh diri mengingat dampak nuklir sangatlah buruk bagi makhluk hidup (Murtamadji, Maret 2009). 

Menurut saya pribadi, strategi teknik pencegahan (detterence) dengan menggunakan nuklir tersebut cukup ampuh dalam menjaga perdamaian dunia. Akan tetapi, perdamaian yang tercipta bukan perdamaian dalam artian yang positif dimana seluruh negara sudah "bersahabat baik", perdamaian yang tercipta karena adanya balance of terror melalui nuklir tentunya merupakan perdamaian dengan situasi internasional yang mengalami ketegangan antar negara dunia. Setidaknya nuklir dapat menjaga stabilitas kondisi internasional. Jika membahas sedikit mengenai konsep perdamaian lain yang dilakukan dengan cara kerja sama antar negara, tentu perdamaian juga bisa terjadi dengan cara tersebut. Namun jika melihat dari sistem internasional saat ini yang sudah banyak terbentuk kerja sama internasional, masih terdapat kecurangan-kecurangan yang dilakukan terutama oleh negara yang kuat baik secara politik atau ekonomi. Maka, perdamaian dengan jalan kerja sama internasional, belum bisa dikatakan sepenuhnya efektif dalam menjaga perdamaian. Sehingga, menjaga perdamaian dunia dengan cara balance of terror ataupun cooperation bukanlah hal yang harus diperdebatkan mana yang terbaik, asalkan stabilitas dan keamanan dunia bisa terjaga apapun cara yang diterapkan.

Hal tersebut bisa kita terapkan ke dalam isu hangat yang sedang berlangsung sekarang ini di wilayah Asia Tenggara atau ASEAN. Seperti yang kita ketahui, wilayah ASEAN sedang mengalami kondisi yang cukup tegang akibat rivalitas China dan Amerika Serikat. Awal mula perselisihan ini berkaitan dengan isu sengketa Laut China Selatan, dimana China mengklaim seluruh wilayah Laut China Selatan adalah miliknya berdasarkan jejak historis padahal itu tidak sesuai dengan UNCLOS (Hukum Laut Internasional). Kebangkitan ekonomi China yang semakin pesat menjadikan China semakin agresif di Laut China Selatan. Amerika Serikat sebagai negara hegemoni pendahulu China, merasa terancam. Hingga akhirnya terjadi persaingan antara dua negara tersebut terutama di Laut China Selatan. Lalu pada tanggal 15 September 2021, terbentuklah kerjasama keamanan antara Amerika Serikat, Australia, dan Inggris yang dinamakan AUKUS (Pusat Penelitian Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI, September 2021). Tujuan utama dari aliansi ini tak lain adalah untuk menekan China di Laut China Selatan. Kedua kubu tersebut juga sama-sama dilengkapi dengan persenjataan nuklir. Apakah hal ini akan mengakibatkan stabilitas keamanan ASEAN menjadi terancam? Jawabannya belum tentu demikian. Jika berkaca dari sejarah Perang Dingin yang terjadi tanpa adanya aksi saling serang antara dua pihak disebabkan adanya balance of power dan balance of terror, maka ini juga bisa berlaku pada isu Laut China Selatan. Dengan hadirnya pihak eksternal yakni AUKUS, bisa mengakibatkan terjadinya balance of power dan balance of terror di Laut China Selatan, sehingga China tidak akan bertindak semaunya untuk mengklaim seluruh wilayah Laut China Selatan karena adanya saingan dan ancaman yang datang dari AUKUS. Namun dengan begitu, bukan berarti negara-negara ASEAN akan berpasrah dibawah kendali dua pihak tersebut. Justru ASEAN harus semakin aktif dan memperkuat solidaritas, untuk menjaga stabilitas keamanan di Asia Tenggara. Jika ASEAN tidak berperan aktif untuk menjaga keamanan Asia Tenggara, maka yang dikhawatirkan ialah terjadinya aksi peperangan oleh dua pihak yang bersaing tersebut di Asia Tenggara terutama wilayah Laut China Selatan. 

Situasi internasional seperti ini, sesuai dengan istilah Yunani kuno "Sivis Pakem Para Bellum" yang bermakna "jika ingin damai, maka bersiaplah untuk perang" (Murtamadji, Maret 2009). Dimana balance of terror melalui nuklir dapat menjadi instrumen pencegahan (detterence) perang guna menjaga perdamaian dunia.

References

Murtamadji. (Maret 2009). Kegagalan Perang Dingin Antardua Negara Adidaya: Faktor Penyebab dan Implikasinya. HUMANIKA Vol 9 No 1, 81-92.

Pusat Penelitian Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI. (September 2021). Respons Indonesia Terhadap Kemitraan Keamanan Australia, Inggris dan Amerika Serikat. Isu Sepekan Bidang Hubungan Internasional.

Saptoyo, R. D. (17 September 2021). Daftar 10 Negara yang Paling Banyak Memiliki Senjata Nuklir. KOMPAS.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun