Sebenarnya kita patut bangga, pernah ada film tanah air yang menjadi tuan rumah di negara sendiri seperti film garapan Riri Reza yang dirilis tahun 2008. Ya judul film Laskar Pelangi, adaptasi dari novel Laskar Pelangi. Berlatar di sebuah desa Gantung, kabupaten Belitung Timur dengan mengungkapkan permasalahan pendidikan, film itu mampu menghipnotis ratusan orang untuk berbondong-bondong menonton di bioksop.Â
Film itu juga mampu membukakan mata pendidik, siswa, dan masyarakat tentang keterbatasan dalam pendidikan tidak menghalangi capaian prestasi. Terbukti anak-anak Laskar Pelangi mampu memenangkan lomba cerdas cermat mengalahkan sekolah kaya. Selain itu, film itu menambah wawasan kita tentang geografis Kabupaten Belitung, mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar buruh di pertambangan, dan sumber daya alam tinggi tetapi ekonomi lemah.
Maju ke tahun 2010, ada film yang menceritakan latar budaya Jawa di Kauman, Yogyakarta. Kita bisa melihat di sana tradisi kejawen yang kental di masyarakat, pakaian beskap, bahasa Jawa, sekolah priyayikweekschool, keagungan keraton, Masjid besar Kauman, dan sebagainya. Ya film itu berjudul Sang pencerah. Film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu menceritakan kisah awal berdirinya Organisasi Muhammadiyah. Film itu termasuk film biopik seperti film Sukarno, Jenderal Sudirman, Sang Kiai, Gie, dan sebagainya.
Memang kalau dianalisis, ada korelasi antara budaya dengan ekonomi. Seperti pemerintah Korea yang mendukung penuh kemajuan budaya di negaranya sehingga memberikan pengaruh pada keterjualan produk-produk mereka di luar negeri. Dari fashion, gaya rambut, pernak-pernik yang lain sangat laris terjual. Dengan demikian memperkuat budaya nasional merupakan keharusan.Â
Salah satunya seperti yang digagas Pak Menteri dengan memarakkan film Indonesia berlatar budaya Indonesia. Keunikan kultur setiap daerah di Indonesia perlu digali dan disajikan dalam cerita film yang menarik. Setiap pemerintah daerah meluangkan waktu untuk menggarap film berlatar daerah masing-masing.
Mengakrabkan film dengan sekolah
Film bisa menjadi media pembelajaran di sekolah. Ada  salah satu kompetensi dasar pembelajaran bahasa Indonesia yakni meresensi film. Para siswa diberi kesempatan untuk menikmati setiap alur film kemudian menghasilkan ulasan-ulasan kelebihan dan kekurangan film. Sebagian besar anak-anak tertarik mengikuti pembelajaran tersebut.Â
Namun, hal yang paling serius dilakukan pengajar adalah menyediakan fasilitas media film yang cocok untuk kalangan pendidikan. Sudah menjadi cerita umum jika produksi film mengikuti arus pangsa pasar. Memang tujuan dari semua itu agar film laku keras di masyarakat. Produksi film tidak terlepas dari unsur seks dan kekerasan. Bahkan film yang meneskplorasi seks dan kekerasan laku di pasaran.
Dengan adanya gagasan dari Pak Menteri, maka perlu kiranya ada tindak lanjut dari Pemerintah Daerah, para seniman dan budayawan untuk berikhtiar memproduksi film yang berlatar budaya daerah nusantara. Kangen juga mengharapkan melihat permainan tradisional seperti dakon, jamuran, gobag sodor dieksplorasi dalam film.Â
Kangen juga membayangkan tarian-tarian daerah seperti jaipong, lengger, tari kecak menjadi latar dalam film. Kangen juga menyaksikan geografis daerah dengan segala pernak-pernik kultural serta bahasa menghiasi layar kaca bioskop. Semoga langkah-langkah ini bisa mereduksi agresi budaya asing di negara kita tercinta dan menjaga tetap teguhnya jati diri bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI