Mohon tunggu...
Gusty Masan Raya
Gusty Masan Raya Mohon Tunggu... wiraswasta -

SCRIBO ERGO SUM, 'Saya Menulis Maka Saya Ada.'

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan di Hujan November

14 November 2012   16:32 Diperbarui: 4 April 2017   18:04 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Gusty Masan Raya

Sebuah telepon pagi. Yang berdering panjang. Berulang kali. Kota Abepura sedang diguyur hujan. Dingin. Sinyal telepon dan suara yang putus-putus.

[caption id="attachment_209327" align="alignleft" width="333" caption="perempuanku"][/caption] Dengan mata yang masih mengantuk, Yohana mengangkat telpon genggam yang terletak di tepi kasurnya. Menekan tombol terima dan berbicara. Sedikit malas.”Kenapa ko telp pagi-pagi Pace? Sepanjang malam sa telp ko tra angkat, sms tra balas. Sa ada mengantuk. Ko tra bisa datang ka bulan ini?” ”Tra bisa bulan ini, sa su bilang bulan depan to, Mama?” ”Janji-janji trus, stop sudah, bikin ganas saja. Kalo ko datang ya datang su. France su tanya-tanya ko trus...” ”Iya sa tau Mama, tapi mau gimana lagi? Bulan depan Papa su ujian semester!” ”Ah ko stop dengan banyak alasan. Atau ko su ada perem lain di situ? Sa tra mau tau, ko harus datang bulan ini..." ”Ih, macam ada yang mati kangen dengan sa ka.” ”Epen ka. Tapi ini epen Pace. Sa mau kita bicara serius.” ”Ketahuan, Mama kangen deng Papa nich...” ”Matoa su berbunga, sedikit lagi su berbuah. Kalau ko tra datang bulan ini, jangan sedih kalo ko tra liat sa lagi bulan depan...” ”Bah, Mama bicara apa macam bodok ka? Tra main ganas ka. Sa juga kangen Mama kok. Tapi...” ”Trada tapi-tapi, sa mau tidur nanti telp lagi. Da....”

“Bah, sa mau telp tanya hasil periksamu di dokter kemarin bagaimana?” Klik! Yohana mematikan telepon genggamnya. Sedikit kesal. Hatinya tiba-tibasedih mengingat kertas putih hasil medical check up yang diperolehnya kemarin dari dokter Herlina.

Yohana naik ke atas kasur dan hendak membaringkan tubuhnya, melanjutkan tidur, melupakan gelisahnya. Belum sempat kepalanya menyentuh bantal, France sudah terlanjur bangun. ”Mama...mama, sa punya PR Mama su kerja?” Suara France mengurungkan niat perempuan itu untuk tidur lagi. Diangkat kembali kepalanya, lalu duduk di atas ranjang. Sekonyong-konyong ia membuat tanda salib di dahi, berdiam sejenak dengan bibir komat-kamit, lalu membuat tanda salib lagi. Setelah itu, ia keluar kamar. Menghadap rak panjang di ruang tamu. Diraihnya tas sekolah anaknya, dikeluarkannya buku tulis dan pena di atas meja. Sambil duduk tunduk mencakar angka-angka, sesekali Yohana melirik ke jam Quartz yang menggantung di dinding. Pukul 05.15. Ia harus minum obat. Masih sangat pagi. Hujan di luar masih deras terdengar. Tinggal satu jam lagi, France harus diantar ke sekolah. Dengan PR Matematika sudah selesai tentunya. France bangun dan menghampiri Yohana. Menempelkan tubuhnya di belakang sambil mengurai rambut mamanya. ”Kata Ibu Dorce, France harus belajar Matematika banyak-banyak di Mama. Kata dia juga, Mama pintar Matematika waktu SD. Betul ka tra Mama?” Yohana tersenyum mendengar kata-kata France. Kata-kata yang membuatnya teringat masa sekolah bersama Dorce, John, Naftali, Edu dan entah siapa lagi. Saat masih menjadi perempuan cilik yang cerdas di SD Gembala Baik Abepura. Memenangkan beberapa kali lomba cerdas cermat antarsekolah. Dan selalu juara satu. Lalu berulangkali pula maju ke depan menerima hadiah piala dari panitia, dengan tampilan dasi kupu-kupu di bawah lehernya. ”Mama serius sampe, tra jawab sa tanya tadi...” France berteriak sambil mencubit mamanya. ”Iyo, Kaka, ko belajar Matematika yang rajin biar ko pintar to Kaka...” ”Jih, mama knapa panggil sa kaka lagi? Sa su bilang, sa tra suka to?” ”Oh iyo...iyo...sorry Mama lupa!” Wajah Yohana sedikit memerah oleh kata-kata anaknya. Bukan baru kali ini, France menegurnya, bahkan menolak dan memberontak. Setiap kali perempuan itu khilaf memanggilnya “kaka”, France dengan pikiran polos, selalu bilang: ”Sa tra ada ade baru. Mama ko sembarang sa...” Setiap kali mendengar alasan polos France, Yohana langsung sedih. Selama ini, diam-diam ia memilih terisak dengan suara keras di dalam kamar sendiri. Tanpa dilihat France atau Jack. Tapi kali ini ia tak kuasa menahan sedihnya. Pipinya tiba-tiba diguyur air mata, seperti hujan di luar. ”Mama...Mama, jih kenapa Mama menangis?” * * *

YOHANA,  perempuan berusia 32 tahun itu memang cantik. Tubuhnya tinggi atletis membawa gen ayahnya dari Suku Muyu Merauke di Selatan Papua. Wajahnya halus dengan hidung mancung mewarisi ibunya yang peranakan Serui-Jawa. Sejak SD hingga SMA, ia sudah menunjukkan diri sebagai anak cerdas. Selalu rangking lima besar di kelasnya. Rajin gereja dan aktif di Mudika Paroki Gembala Baik Abepura. Orang-orang mengenalnya sebagai anak yang sopan dan ramah. Gaya hidupnya berubah drastis ketika ia mulai kuliah di Uncen. Sejak ia mulai pacaran, mengenal seks, merokok, minuman keras hingga terseret narkoba. Sudah berapa kali Mama menegurnya saat ia sering pulang larut malam. Sudah berapa kali Ayah menamparnya ketika tahu laki-laki yang datang menjemput dan menghantarnya ke rumah, selalu berbeda. Sudah berapa kali pula, ia mempermalukan orang tuanya di kantor polisi karena kriminal: mabuk dan tabrakan.

Tak jarang, Mama dan Ayahnya menyumpahi dirinya sebagai anak durhaka ketika kesal memuncak. Dengan kata-kata serapah yang tak elok didengar. Teramat menakutkan. Yohana sudah mati rasa. Kesenangan telah menutup mata hati dan nuraninya untuk mendengar kata-kata orang tua. Ia bertemu dengan Jack saat masih semester empat, lelaki yang akhirnya mengubah hidupnya. Bertemu di sebuah diskotik, sama-sama mabuk. Berlanjut di hari-hari berikutnya. Dan sepakat meninggalkan dunia gemerlap. Tinggalkan miras, narkoba dan gonta-ganti pasangan. Sampai Yohana hamil sebelum maju ke altar Tuhan dan lahirlah France, yang hingga kini masih sendiri.

”Kandunganmu agak lemah, tapi bisa kita terapi pelan-pelan,” kata dokter Herlin dua tahun lalu, saat ia konsultasi kandungan setelah dua kali keguguran. Ia dan Jack memang sudah berusaha, tetapi anak yang kedua tak kunjung datang. Ya datang untuk menemani France yang terlalu sepi jika hanya semata wayang. France yang rindu menunggu seorang adiknya dan selalu marah bila sang mama memanggilnya dengan “Kaka.”

Pernah Yohana dan Jack berkonsultasi ke seorang pastor yang ahli pengobatan. Diberikan ramuan dan air berkat. Tapi tak juga berisi rahimnya. Pemeriksaan lab dan USG pun dilakukan ulang-ulang. Tak ada masalah dengan rahim. Hingga Jack dikirim studi tahun lalu ke Bandung mengambil S2 dan enam bulan sekali berlibur.

Ketika tiba-tiba hasil medical check up yang diterimanya kemarin terasa kejam memvonisnya, Yohana benar-benar terpukul. Sejak semalam, niatnya cuma satu. Menelpon Jack dan memintanya segera balik ke Jayapura meninggalkan segala tetek bengek kuliah mengejar jabatan di kantornya hanya untuk menyampaikan hasil pemeriksaan ini secara langsung. Sebab ia tak kuat mengabarinya lewat telepon.

Yohana sedih melihat France. Sudah sembilan tahun lamanya, France tumbuh sebagai anak tunggal. Lebih banyak bersama dirinya. Ia tak punya banyak teman. Apalagi sejak mereka tinggal di belakang Asrama Haji Abepura. Kompleks perumahan itu masih jarang dihuni. Sepi. Hanya belasan rumah, itu pun setiap rumah dibangun pagar tembok yang tinggi. Antara tetangga yang satu dan yang lain seperti tak mau saling bergaul. Jauh berbeda dengan suasana di Jalan Biak, di rumah Ayah Yohana yang berada dekat kompleks RSUD Abepura. Semua tetangga seperti keluarga, saling berkunjung, saling menolong dan memberi. Merokok dan makan buah pinang ramai-ramai di para-para. Sebulan atau dua bulan sekali masak papeda bersama. Sungguh asyik. ”Mama, sepi sekali di sini Mama, sa kangen dengan kalian di situ.....” kata Yohana via telepon kepada mamanya sepulangnya menghantar Jack dari sekolah di Cigombong, pagi itu. ”Mama tau perasaanmu, Hana. Su pi priksa dokter?” Yohana kaget. Wajahnya memerah. Kok Mama bisa tahu? Naluri ibu memang kuat untuk merasakan derita sang anak. ”Sudah,” kata Yohana dengan nada pelan. Seperti lemas menyergap tubuhnya tiba-tiba. ”Lalu, dokter de bilang apa?” Yohana terdiam beberapa saat. Tak tahu mau jawab apa. ”Hana? Hana? Yohana....” ”Iyo mama...sa ada dengar..” ”Kenapa diam?” ”Mama....” Hanya itu yang bisa diucapkan Yohana. Dan terhenti setelah menarik nafas panjang. Ia terlihat gugup dan gelisah pada dirinya sendiri.

“Mama ada waktu hari ini? Sebentar Mama datang e, sa tunggu di rumah. Sa mau bicara sesuatu dengan Mama.” ”Ada apa Yohana? Bisa bilang sekarang ke Mama to di telepon?” ”Iyo, nanti sa bilang empat mata deng Mama e. Poko'nya, Mama datang, sa tunggu.” ”Oke, Mama datang! Tapi ko masak papeda dan kuah kuning e? Su tau to Mama pung selera.” ”Sip Mama...” Sejam kemudian, sebuah sepeda motor berhenti di depan menurunkan seorang ibu tua dengan sanggul hitam kilat, Yohana seperti tak kuasa menahan tangis. Buru-buru ia membuka pintu dan menyerbu perempuan itu dengan dekapan berbareng isak kecil yang tertahankan. Seperti anak kecil berpisah dengan mamanya bertahun-tahun. ”Bah...kenapa Hana? Menangis kayak anak kecil….” Sang ibu membiarkan Hana memeluknya. Sambil membelai rambutnya, ia memapah anak sulungnya itu masuk ke dalam rumah, menuju kamar tidur. Sang mama menghapus air mata di pipi Yohana dengan telapak tangannya yang sudah mengeriput. ”Kas tau Mama, ada apa?” Sesudah beberapa menit, barulah Yohana bicara. Dengan lidah terasa kelu. ”Sa kena....” ”Kena apa Hana?” ”Itu Mama...sa..sa kena kanker rahim...” ”Ha??” Mata ibunya mendelik. Kaget.

”Kapan ko priksa? Darimana ko tau?” ”Sa baru periksa dua hari lalu di rumah sakit...” kata Yohana sambil memperlihatkan hasil pemeriksaan dari dokter ke mamanya. Ibunya membaca hasil itu dengan seksama. Dan sekonyong-konyong di sudut matanya, ada setitik air bening pelan-pelan jatuh. Ia membayangkan sumpah serapahnya dulu. Dan…. terjadi hari ini.

Yohana bertambah sedih jadinya. Ia meraih tubuh Mamanya, dan memeluknya sambil menangis. Makin lama suara tangisnya makin keras. Sambil mengingat France, sambil mengenang Jack. ”Sa minta maaf Mama, sa minta ampun Mama, sa masih ingin hamil di bulan November...”

Kotaraja, 1 November 2012

(buat kamu yang buatku bangKIT sesudah saKIT)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun