Mohon tunggu...
Gusty Masan Raya
Gusty Masan Raya Mohon Tunggu... wiraswasta -

SCRIBO ERGO SUM, 'Saya Menulis Maka Saya Ada.'

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

SEPOTONG BELENGGU DI PAPYRUS

18 Juli 2012   16:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:49 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_188479" align="alignleft" width="472" caption="www.pakarpapua.com"][/caption] AKU TAK TAHU. Entah kenapa, di kota ini, sesuatu yang rapuh bisa kembali teguh. Dan yang dulu kokoh, malah roboh. "Akh?" Begitulah luapan perangah. Sedikit heran. Takjub. Seperti menyentuh air pagi hari di Cisitu. Dan berharap wajah tak terlalu kejut untuk dibilas. Dan mimpi semalam bisa digilas, tertinggal.

Kemana aku berlari, seperti ada yang selalu saja menguntit. Pepohonon tua zaman Belanda yang rimbun: payung jiwa--oase segala gerah gerak manusia Bandung dengan macetnya--setidak-tidaknya menghibur dan melebur amarah. Sebab di antara sejuta kota mesin yang lari seliweran, selalu juga ada penumpang yang tertinggal: diriku. Duduk dengan wajah pucat. Keringat dingin, setengah paranoid. Asam lambung yang meningkat tiba-tiba. Detak jantung kian cepat berirama. Dan itu: perhentian yang kubilang sebagai complex syndrome. Sebuah tahap kekosongan yang paling lengkap kudekap: antara keterasingan dan pemberontakan. Di Papyrus pukul 13.00 WIT. Depan SMA Santa Angela 01. Kota Kembang Bandung lagi dirundung mendung. Sedikit gerimis. "Cret...cret...cret..." Segala wajah yang menghadap lensa jadi fotogeni. Narsis. Mengabadikan bayangan dalam pigura sosialita: mengekalkan ruh urban tentang sejarah dan kenangan mereka. Ada sesosok perempuan bermata sipit mendorong pintu kaca. Masuk. Setengah terbirit menarik tangan anak kecilnya yang berseragam merah putih. Lalu duduk menunggu di sampingku. Ia sedikit gelisah. Itu yang kulihat. Saat sepatu hak tinggi yang dipakainya hampir menginjak kakiku, disusul permintaan maaf. Halus. Santun. Kental Sunda. "Treng...treng..." Bunyi pesan Blacberry Messenger di tangannya berulangkali. Dibukanya. Belum sampai semenit, telp di layar smartphone-nya muncul. Seseorang berteriak di seberang:

"Kamu ada dimana, babi? Kenapa tidak balas BBM aku?" Aku terperangah. Duh! Kok bisa? Lipstik merah jambu yang membalut bibir perempuan itu tak sempat menutup sedihnya. Dan gemulai jemarinya mengelus wajah anaknya, tak mampu menyembunyikan geram. Kuyuh dan lusuh seperti tiba-tiba menerkam. Posesitivitas cinta telah membunuhnya dengan "babi"--yang juga membuatku lekat menatap pigura demi pagura di dinding ruang Papyrus dengan jejak mata buntu. Tak terpahami. Adakah dia seorang perempuan Chinese? Seorang Kristen? Pikiran primordialku muncul. Ah, entah! Setelah Ahok dan Jokowi membuat warga Tionghoa Jakarta menjadi nasionalis dadakan, mengantri jari dicelup tinta Pilkada 2012, orang-orang se-Indonesia setelah dicabuli bahasa media mulai gonjang-ganjing gugat ras, agama, primordialisme, dan entah.

Tapi "babi" itu, yang memberi lokalitas pemikiran ke arah agama, moralitas, etika... mengapa tak bisa terganti? Tak dibilang "monyet lu" atau "kambing you"? Apakah karena para pakar telah menemukan kebenaran tentang kemiripan DNA binatang itu dengan manusia: dan menghubungkan dengan mental ”swinger” yang kini diwajari? Bagiku, dalilnya sederhana. Karena "babi" adalah soal rasa: keagamaan yang terlalu najis untuk diungkap, juga terlalu manis untuk dibekap bagi mulut yang pernah mencicipnya. Kemarahan meletakannya dalam kubangan bau menjijikan, tetapi keramahan menempatkan sebagai sajian lezat penuh cita rasa untuk dicicipi.Tetapi sekali lagi, mengapa "babi" dan bukan "monyet", "kambing" atau "kuda" saja? Akh!! Pandanganku menembus dinding Papyrus. Menembus pigura dimana sepasang suami istri tersenyum manis diapit anak lelakinya. Aku jadi terbawa view masa lalu. Ini tidak adil. Setiap pertengkaran, setiap ketidakmengertian, setiap kemarahan, sepanjang tangan belum terlalu cepat bergerak: mulut yang selalu merasa diri benar bakal mengucap kata itu: "babi kau!" Dan ketika di kitaran ruang Papyrus, gemerlap BTC dan C-Walk, hingga kampus ITB masih ada nyanyian ini--dan selama ini dikekalkan dalam jargon fanatisme ras dan agama--aku lebih takut, sesuatu yang busuk bisa bakal lebih kuat menusuk. Lebih dari procella in ollam, lebih dari badai dalam periuk rumah tangga, lebih dari bumbu penyedap rasa.

Kulit hitam legam telah melemparku ke tengah keterasingan khalayak yang nge-Sunda. Rambut keriting mengungkungku dalam perangkap mata kawanan banyak yang melotot, seperti aneh, mengapa aku tak seperti dia. Hanya "babi" yang mengingatkan identitasku: bahwa aku pernah di kubangan, aku juga pernah di meja sajian. Dualisme kenangan yang bakal terus berputar. Terus bertukar.

GMR, Papyrus Studio Photo-Bandung, 18 Juli 2012 (Maki Itu Bagian Dari (S)I(LU)MAN)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun