Penerapan kurikulum 2013 sudah menjelang di depan mata. Jika tidak ada aral melintang, tahun ajaran depan (2013/2014) akan menjadi tahun pertama pelaksanaan kurikulum ini. Di antara hal kontroversial yang beredar mengenai hal ini adalah munculnya kabar akan dihapuskannya mata pelajaran Bahasa Inggris dan TIK (Komputer).
Khusus mengenai Bahasa Inggris, seperti yang diliput situs berita kontan.co.id (13/11/12), Wamendikbud Musliar Kasim menyatakan bahwa posisi Bahasa Inggris di SD akan sama seperti yang ditetapkan Kurikulum 2006 sebelumnya yakni sebagai muatan lokal. Ini berarti, sekolah TIDAK BERKEWAJIBAN mengadakan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolahnya. Jika memang dirasa perlu diadakan, silahkan, namun jika tidak, tak ada sanksi bagi sekolah yang menghapuskannya. Untuk silabus mata pelajaran, Wamendikbud menyerahkan konten pada kebijakan masing-masing sekolah. M. Kasim beralasan, hal ini demi mengantisipasi keadaan sekolah-sekolah pedalaman yang memang terbatas SDM pengajar Bahasa Inggris yang kompeten. Menurutnya, jika anak-anak diajari oleh orang yang tidak kompeten dalam Bahasa Inggris maka akan ada efek buruk ke depannya.
Dari sisi guru Bahasa Inggris sendiri, menurut perkiraan Retno Listyarti perwakilan dari FGSI (Federasi Guru Seluruh Indonesia) sebagaimana dirilis tribunnews.com (7/4), di DKI Jakarta saja akan ada sekira 1000 guru yang terancam kehilangan pekerjaan karena kebijakan ini. Hal ini dikarenakan jomplangnya rasio jumlah guru dengan jam mengajar yang disediakan pemerintah di SD, SMP, maupun SMA. Belum lagi dari 33 propinsi lainnya.
Bahasa Inggris Sebagai Alat
Bahasa Inggris adalah kunci informasi dan sains dari luar. Ini sesuatu yang sebetulnya sudah diketahui secara umum. Alasan inilah yang menjadi alasan pertama dan utama mengapa Bahasa Inggris masuk ke dalam kurikulum kita semenjak dulu. Kalau mau jujur, memang saat ini negara penutur Bahasa Inggris-lah yang sedang mendominasi dunia, boleh dilihat langsung ke Amerika Serikat dan Inggris. Putaran sejarah memang punya aturan tak tertulis, bangsa yang majulah yang juga bahasa dan budayanya menjadi acuan. Di zaman keemasan kesultanan Andalus di Spanyol, klasifikasi hewan dan tumbuhan dilakukan dengan Bahasa Arab, bukan Latin. Aksara Hanzi milik China (yang peradabannya lebih maju dan mapan) pun diadopsi dan dimodifikasi oleh Jepang (menjadi kanji, katakana, dan hiragana) serta Korea (menjadi aksara Hangul).
Kalaulah pemerintah kemudian mengacu pada premis "Tidak harus jago Bahasa Inggris untuk maju" dengan merujuk ke Jepang misalnya, itu merupakan hal yang sangat tidak tepat. Kondisi sosio-ekonomi masyarakat kita dengan para Nihonjin itu sangat jauh berbeda.Di Jepang, Bahasa Inggris tidak populer. Amat sedikit orang yang bisa berbahasa Inggris. Bukan karena mereka tidak sanggup mempelajarinya, tapi mereka memang secara teknis "tidak memerlukannya". Banyak buku-buku sains dan iptek, diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Jepang dalam waktu singkat. Di Indonesia, sebuah buku berbahasa Inggris bisa menunggu bertahun-tahun sebelum ada versi Bahasa Indonesia-nya. Belum lagi minat baca (dan jumlah kaum terdidik) di Indonesia masih sangat rendah. Kalaulah pemerintah sungguh-sungguh ingin meniru Jepang dalam hal ini, Indonesia harus lebih maju dari (atau paling tidak setara) Â negara-negara penutur Bahasa Inggris. Selain itu, harus ada usaha serius dalam peningkatan jumlah kaum terdidik dan minat baca di negeri ini.
Bahasa Inggris, Nasionalisme, dan Keterjajahan Budaya
Ada pandangan yang mengemuka, bahwa pengajaran dan penggunaan Bahasa Inggris di Indonesia adalah suatu bentuk keterjajahan budaya masyarakat kita terhadap Barat. Penulis sendiri--secara pribadi-- merasa itu adalah sesuatu yang relatif. Â Kalau kita melihat pejabat-pejabat publik Indonesia yang menyisipkan istilah-istilah berbahasa Inggris dalam pidato resmi negara, ya itu memang bentuk keterjajahan budaya. Sebab saat di mana seseorang (lebih-lebih pejabat publik) dituntut untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar, ia malah pamer kemampuannya berbahasa Inggris, sehingga seolah tampak lebih "keren". Ini yang merupakan contoh mental budak. Kalau meminjam ujaran Bahasa Jawa, ini namanya keminglish. Sok keinggris-inggrisan. "Udah ujhan, bechek, ga ada oujhek..." Jadi ini adalah masalah mental, kesempatan, dan kepatutan. Penulis pun guru Bahasa Inggris. Penulis menggunakan Bahasa Inggris bukan supaya terlihat "keren", meskipun saya bisa menggunakannya. Hanya di tempat dan waktu yang tepat. Penulis sebisa mungkin juga tetap melafalkan kata-kata Indonesia dengan pelafalan Indonesia saat berbahasa Inggris. Salah seorang dosen penulis di kampus sempat mengkritik keras para mahasiswanya yang melafalkan "Jakarta" menjadi "Jekardah" saat berbahasa Inggris.
Kalau kita menilik sejarah, Bung Karno dan Bung Hatta adalah dua orang yang ideologi nasionalisme keindonesiaannya boleh dibilang paling kental. Tapi, mereka berdua adalah penutur aktif Bahasa Belanda. Mereka pun dididik dengan Bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Catatan sejarah mencatat, mereka berdua kerap bercakap dengan Bahasa Belanda satu sama lain.
Asas Keadilan: Beda Akses Informasi Miskin dan Kaya
Di Indonesia, orang-orang kaya akan dengan mudah mengirim anak-anaknya ke sekolah internasional dan les-les Bahasa Inggris ternama macam EF, ILC, LIA, dll. Bagaimana dengan mereka yang miskin? Kalau Bahasa Inggris tidak ada di SD (karena SD bersangkutan tidak mengadakan), bagaimana cara mereka mengaksesnya? Â Bisa jadi mereka tak punya akses sama sekali. Kalau kemudian ada argumen, "Mereka bisa belajar Bahasa Inggris di SMP dan SMA!", kita sama-sama tahu putus sekolah masih sangat umum di Indonesia. Ini seperti melakukan pembiaran terjadinya hukum rimba di bidang pendidikan. Dan bukan rahasia sebagaimana yang sudah terjadi bertahun-tahun di Indonesia, ada lingkaran setan kemiskinan dan kebodohan. Karena miskin, mereka bodoh. Karena bodoh, mereka (dan keturunannya) tetap miskin.