"ikhlas nia, biarkan mereka mencaci dan memaki, tapi itu bukan alasan bagi kamu untuk menjadi seperti mereka. karena kejahatan tidak harus dibalas dengan kekerasan."
Aku masih terngiang omongan mamah saat aku terisak dipelukannya tempo lalu, dan itu menjadi pembelajaran berharga buatku kedepannya.
Sudah satu tahun sejak peristiwa itu tapi aku belum bisa untuk semudah itu melupakan semuanya, karena sampai detik ini aku masih bisa mengingat setiap detail yang terjadi pada waktu itu. Saat dimana kalimat itu keluar tanpa ada pertimbangan dari dirinya. Dan sudah satu pula aku tak juga bertegur sapa dengannya setiap kali kita bertemu.
" Loe itu manusia atau binatang sih. Loe itu Robot atau apa ? dimana hati nurani loe. dimana perasaan loe. Dasar Khianat, Biadab Loe."
kalimat itu kembali terngiang saat aku berpapasan dengannya pagi ini. Rasanya berat kalau harus bertegur sapa atau hanya sekedar tersenyum saat bertemu dengan dia. Padahal dia sudah menyiapkan senyum terbaiknya ketika berpapasan denganku, tapi aku selalu mengalihkan pandanganku.
" kenapa sii kamu setiap kali bertemu Edo selalu mengalihkan pandangan ?" Tanya Citra kepadaku.
" gak kenapa kenapa" jawabku singkat kerena aku gak mau orang lain tau apa yang menyebabkan itu terjadi. Dan aku juga gak mau luka yang hampir mengering basah kembali ketika aku bercerita kepada Citra nantinya, Citra adalah teman terdekatku saat ini di kantor, meskipun kami baru beberapa bulan bertemu tapi hubungan kami sungguh dekat. tapi itu gak bisa menjadikanku alasan untuk bercerita mengenai masalaluku bersama Edo.
Edo adalah masalalu yang seharusnya sudah aku lupakan sejak setahun yang lalu, tapi karena kami dipertemukan kembali dalam satu kantor, mau gak mau aku harus berjuang untuk kembali melupakannya. Dan aku tau itu gak mudah. Karena bagaimanapun Edo pernah ada di hatiku dan dikehidupanku. Pernah ada?? Wait wait wait, pernah ada atau masih ada . entahlah. Aku tersenyum ragu.
Aku menghela hafas panjang ketika tahu kalau aku harus satu tim bersama Edo saat nanti acara outbond yang rutin di adakan kantorku setiap tahunnya.
" Tuhan, kenapa harus satu tim bersamanya." aku menggerutu dalam hati.
Dan hari yang paling aku tidak harapkanpun tiba, hari dimana aku harus bersama Edo dalam satu kebersamaan, dan aku rasa itu hari terberat yang harus aku jalani. Aku berusaha sebisa mungkin bersikap biasa biasa saja ketika aku harus terlibat percakapan kecil bersamanya. Tapi lagi lagi ada dentuman keras sekali dihatiku  saat Edo memanggil dan menyebut namaku, memaksa otakku untuk kembali masuk dikejadian satu tahun lalu saat aku masih menjalin hubungan dengannya. saat statusku masih menjadi kekasihnya. bukan seperti sekarang yang hanya sebagai temannya.
Hari itu pun selesai, Kuhela nafas panjang serasa beban dihatiku dua hari ini sudah hilang dengan berakhirnya acara tersebut. Semuanya memang sudah selesai, tapi tidak dengan perasaan ini, betapa terpukulnya saat aku mendengar obrolan Edo bersama kekasihnya lewat telepon sewaktu Outbond kemarin, betapa sakitnya hati ini saat aku dengar dia memanggil pacarnya dengan sebutan yang sama seperti saat dia menjadi kekasihku dulu. Aku fikir selama ini aku sudah berhasil melupakan semuanya, ternyata aku salah, aku lemah, aku rapuh dan perasaanku hancur ketika aku harus kembali bertemu dengannya dengan status yang berbeda dan keadaan yang berbeda.
Sudah hampir seharian ini aku mengurung diri dikamar,aku menangis, aku bersembunyi di balik bantal dan selimut, dan berharap dapat juga bersembunyi dari Edo dan perasaan ini. Perasaan yang seharusnya sudah aku buang jauh. Sejauh Edo meninggalkan aku dan semua tentangku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H