Jika dulu ada peribahasa "Pagar makan tanaman," kini di zaman modern ini, peribahasa tersebut telah berevolusi. Tidak hanya makan tanaman, bahkan kini bisa juga makan laut.Â
Fenomena pagar laut ilegal menjadi bukti nyata dari peribahasa modern ini, di mana batas-batas wilayah laut digunakan demi keuntungan segelintir pihak tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya.
Contohnya, pagar laut ilegal yang membentang sepanjang 30,16 kilometer, melintasi 16 desa di enam kecamatan seperti Kronjo, Kemiri, dan Mauk di Tangerang, menjadi perhatian publik (Tempo.co, 2025).Â
Kasus lain, di Sidoarjo, pagar laut ilegal seluas 656,83 hektar semakin menegaskan bahwa ancaman ini bukan sekadar cerita dongeng, melainkan kenyataan pahit yang mengancam kelangsungan ekosistem laut dan mata pencaharian masyarakat pesisir.
Realita Pahit di Balik Pagar Laut
Cerita pagar laut tidak memiliki akhir yang bahagia. Sebaliknya, ia menjadi tragedi yang penuh dengan pelajaran pahit.Â
Dampak dari pagar laut ilegal begitu luas, mulai dari penurunan pendapatan nelayan karena hilangnya wilayah tangkap ikan, kerusakan ekosistem laut akibat terganggunya alur migrasi biota laut, hingga gagalnya mitigasi abrasi yang justru memperburuk kondisi garis pantai.
Tidak hanya itu, manfaat finansial dari praktik ini hanya dinikmati oleh segelintir orang, sementara masyarakat luas, terutama nelayan tradisional, harus menanggung dampaknya.Â
Tragedi ini menjadi bom waktu yang bisa mengancam kehidupan sebagian besar penduduk pesisir, yang selama ini bergantung pada laut sebagai sumber penghidupan utama mereka.
Melanggar Agenda Keberlanjutan SDG 14 dalam Ancaman
Fenomena pagar laut ilegal secara langsung bertentangan dengan tujuan global untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut, sebagaimana diatur dalam Sustainable Development Goals (SDGs) Tujuan ke-14: Ekosistem Lautan.
SDG 14 menekankan pentingnya melestarikan sumber daya laut, mencegah eksploitasi berlebihan, dan memastikan perlindungan habitat laut. Namun, dengan adanya pagar laut ilegal, target ini menjadi semakin sulit dicapai.Â
Kerusakan habitat laut yang masif akibat aktivitas ilegal ini dapat mengurangi keanekaragaman hayati, memperburuk perubahan iklim lokal, dan mengganggu keseimbangan ekosistem yang menjadi tumpuan hidup banyak orang.
Momentum Perubahan
Di tengah ancaman ini, ada peluang besar untuk mendorong perubahan ke arah keberlanjutan. Berikut langkah-langkah yang dapat diambil:
- Penegakan Hukum yang Tegas
Pemerintah harus memperketat pengawasan dan memberikan sanksi berat kepada pelaku yang terlibat dalam praktik pagar laut ilegal. Hal ini membutuhkan koordinasi yang kuat antara aparat hukum, pemerintah daerah, dan lembaga terkait.
- Melibatkan Masyarakat Lokal dalam Pelestarian Laut
Memberdayakan masyarakat pesisir melalui program konservasi laut berbasis komunitas dapat menjadi solusi yang efektif. Nelayan dan penduduk setempat harus dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan.
- Peningkatan Edukasi dan Kesadaran Publik
Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem laut dapat membantu meminimalkan dukungan terhadap aktivitas ilegal ini. Kampanye berbasis SDGs harus menjadi prioritas.
- Restorasi Ekosistem Laut yang Rusak
Langkah pemulihan harus segera dilakukan untuk mengembalikan kondisi laut yang telah terdegradasi. Ini mencakup penanaman mangrove, perlindungan terumbu karang, dan rehabilitasi habitat laut lainnya.
Mengubah Tragedi Menjadi Peluang
Fenomena pagar laut ilegal adalah kenyataan pahit yang harus segera ditangani.Â
Kita perlu menjadikannya sebagai momentum untuk menguatkan komitmen terhadap keberlanjutan laut dan mendorong tercapainya SDG 14.
Sebagaimana dalam dongeng yang kerap memiliki pelajaran di akhir cerita, tragedi ini pun mengajarkan bahwa keseimbangan alam adalah hal yang tidak bisa ditawar.Â
Laut bukanlah pagar milik segelintir orang, melainkan warisan bagi seluruh umat manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI