Forbes memperkirakan bahwa pasar AI global bernilai $136,55 miliar pada tahun 2022, dan menurut NextMSC, nilai ini melonjak menjadi $207,9 miliar pada tahun 2023.Â
AI kini menjadi tren besar dalam dunia bisnis teknologi digital, membuka peluang besar untuk memecahkan berbagai kebutuhan manusia melalui otomasi.
Menurut survei Forbes Advisor yang dilaporkan oleh CompTIA.org (2024), berikut adalah cara bisnis memanfaatkan AI:
- 56% untuk meningkatkan efisiensi operasi bisnis.
- 51% untuk keamanan siber dan manajemen penipuan.
- 47% untuk asisten pribadi digital.
- 46% untuk manajemen hubungan pelanggan.
- 40% untuk manajemen inventaris.
- 35% untuk produksi konten.
- 33% untuk rekomendasi produk.
- 30% untuk akuntansi dan rantai pasokan.
- 26% untuk perekrutan dan pencarian bakat.
- 24% untuk segmentasi audiens.
Secara keseluruhan, adopsi AI dalam bisnis terus meningkat. Sebanyak 22% perusahaan telah mengintegrasikan AI dalam alur kerja mereka, sementara 33% masih dalam tahap implementasi terbatas, dan 45% lainnya dalam fase eksplorasi.
Menghubungkan AI dan SDGs
Sustainable Development Goals (SDGs) adalah agenda global untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Dalam konteks ini, AI menjadi alat penting untuk mempercepat pencapaian berbagai tujuan SDGs. Bahkan, UNDP aktif membantu negara-negara membangun ekosistem AI yang inklusif, mengembangkan kemampuan, dan menciptakan solusi yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan (UNDP.org, 2024).
Praktik Baik Penggunaan AI untuk SDGs
Berikut adalah beberapa contoh nyata implementasi AI dalam mendukung pencapaian SDGs:
1. Platform GeoAI untuk Pemantauan Polusi di India
Di India, lebih dari 140 juta penduduk terpapar polusi parah setiap musim dingin. Salah satu penyumbang utama polusi adalah sektor manufaktur, khususnya pembakaran batu bata. Melalui penggunaan platform GeoAI yang menggabungkan teknologi geospasial dan AI, para peneliti dari Universitas Nottingham berhasil mengidentifikasi lebih dari 9.000 tempat pembakaran batu bata yang menjadi sumber polusi udara.
Dengan melibatkan berbagai pihak terkait, regulasi pun diperkenalkan untuk mengurangi jumlah tempat pembakaran, yang akhirnya turun menjadi 1.000 lokasi. Langkah ini tidak hanya mengurangi polusi udara, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap kesehatan masyarakat di wilayah tersebut.
2. Platform Pemantauan Kemiskinan di Filipina
Pada tahun 2019, 20,8% penduduk Filipina diperkirakan hidup di bawah garis kemiskinan, dan angka ini semakin meningkat akibat dampak COVID-19. Untuk itu, dibutuhkan solusi cepat dan akurat untuk memetakan wilayah-wilayah miskin agar intervensi bisa dilakukan lebih efektif.
Dibuatlah model AI yang mampu memetakan estimasi kekayaan hingga tingkat wilayah terkecil di seluruh Filipina. Dengan kecepatan dan akurasi yang tinggi, model ini memberikan pemetaan yang sangat detail tentang tingkat kemiskinan di negara tersebut, memungkinkan pemerintah dan organisasi terkait untuk melakukan intervensi dengan lebih tepat sasaran.
3. Alat Pengendali Hama Gelombang Ultrasonik di Indonesia
Di Indonesia, Universitas Airlangga (UNAIR) melalui Instrumentation and Energy Research Community (IMERCY) telah mengembangkan alat pengendalian hama berbasis gelombang suara ultrasonik. Dengan menggunakan frekuensi antara 15 kHz - 20 kHz, alat ini efektif untuk mengusir hama seperti tikus dan burung emprit yang dapat merusak tanaman pertanian.
Teknologi ini membantu petani mengendalikan hama secara lebih ramah lingkungan dan hemat biaya dibandingkan dengan metode kimiawi, mendukung tercapainya SDGs terkait pertanian berkelanjutan dan kehidupan yang lebih sehat.
Ketiga praktik baik tersebut merupakan implementasi dari dari dukungan AI terhadap kemajuan SDGs, khususnya SDG 7 Affordable anda clean energy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H