Mohon tunggu...
Agung Santoso
Agung Santoso Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti isu - isu kemanusiaan.

Tertarik dengan isu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan / Sustainable Development Goals (TPB/SDGs)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Riuh Kenaikan 12 Persen, Bagaimana Sejarah Pajak?

19 Desember 2024   11:35 Diperbarui: 19 Desember 2024   14:17 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak naik 12 persen. 

Demikian top of mind publik, khususnya di jagat media sosial dalam beberapa hari terakhir. Tema "pajak" sukses menyita perhatian berbagai kalangan, mulai dari akademisi, pengusaha, ekonom, politisi, hingga menjadi semacam "hot issue" bagi komunitas cangrukan di warung kopi.

Apa sebenarnya pajak itu, sehingga mampu merasuki alam pikir masyarakat begitu dalam?

Menurut Soeparman, pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku. Cort Vander Linden mendefinisikan pajak sebagai sumbangan pada keuangan umum negara yang tidak bergantung pada jasa khusus dari seorang penguasa. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerangkan pajak sebagai pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya.

Akar Historis

Jika dirunut sejarahnya, pajak adalah kebijakan yang telah melahirkan kegemilangan sebuah bangsa, namun juga tak luput dari drama pembantaian mengerikan yang menjadi tinta merah dalam sejarah umat manusia.

Sejarah pajak sangat dekat dengan perlawanan, pemberontakan, dan ketidakadilan. Di Mesir Kuno, pajak diterapkan berdasarkan tinggi Sungai Nil. Kekaisaran Romawi memungut pajak dari bea impor dan ekspor. Di Nusantara, dikenal istilah "upeti," yakni persembahan rakyat kepada raja sebagai bentuk ketundukan.

Pada era kolonial Belanda, sistem pemungutan pajak di Indonesia mengalami revolusi. Meskipun jenis dan alokasi pajak berbeda dengan sistem sebelumnya, nyatanya beban pajak tetap tidak berpihak pada rakyat kecil. Hal ini melahirkan berbagai pemberontakan yang menjadi catatan kelam sejarah. 

Contohnya, Pemberontakan Diponegoro, Pemberontakan Petani Banten, dan Pemberontakan Ratu Adil, semuanya dipicu oleh ketidakadilan dalam sistem perpajakan.

Tak hanya di Indonesia, perlawanan terhadap pajak juga terjadi di berbagai belahan dunia. Contohnya adalah Whiskey Rebellion (1791) di Amerika Serikat, Boston Tea Party (1773) di Inggris, Dog Tax War (1898) di Selandia Baru, hingga perlawanan petani anggur di Prancis (1907).

Konteks Modern

Semakin majunya peradaban manusia, termasuk di Indonesia, telah mempermudah bahkan mempersonalisasi pajak bagi setiap individu. 

Dengan kenaikan pajak, diharapkan ada peningkatan kualitas pelaporan alokasi dan distribusi dana pajak secara transparan. Sistem ini memungkinkan pembayar pajak mengetahui secara langsung ke mana uangnya digunakan.

Contoh yang dapat diambil adalah penggunaan teknologi modern seperti blockchain untuk pelaporan pajak, yang telah diterapkan di beberapa negara maju. Transparansi semacam ini mampu meminimalkan friksi dan multitafsir dalam pengelolaan dana pajak. 

Ketika pembayar pajak diberi informasi personal tentang alokasi uang mereka, keterlibatan dan kesukarelaan mereka dalam membayar pajak akan meningkat.

Kenaikan pajak sebesar 12 persen adalah isu yang layak menjadi perhatian bersama. Namun, tanggung jawab tidak hanya ada pada pembayar pajak, tetapi juga pada pemerintah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Dengan sistem yang adil dan modern, pajak dapat menjadi instrumen yang benar-benar membangun bangsa, tanpa meninggalkan luka sejarah di belakangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun