Pajak naik 12 persen.Â
Demikian top of mind publik, khususnya di jagat media sosial dalam beberapa hari terakhir. Tema "pajak" sukses menyita perhatian berbagai kalangan, mulai dari akademisi, pengusaha, ekonom, politisi, hingga menjadi semacam "hot issue" bagi komunitas cangrukan di warung kopi.
Apa sebenarnya pajak itu, sehingga mampu merasuki alam pikir masyarakat begitu dalam?
Menurut Soeparman, pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku. Cort Vander Linden mendefinisikan pajak sebagai sumbangan pada keuangan umum negara yang tidak bergantung pada jasa khusus dari seorang penguasa.Â
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerangkan pajak sebagai pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya.
Akar Historis
Jika dirunut sejarahnya, pajak adalah kebijakan yang telah melahirkan kegemilangan sebuah bangsa, namun juga tak luput dari drama pembantaian mengerikan yang menjadi tinta merah dalam sejarah umat manusia.
Sejarah pajak sangat dekat dengan perlawanan, pemberontakan, dan ketidakadilan. Di Mesir Kuno, pajak diterapkan berdasarkan tinggi Sungai Nil. Kekaisaran Romawi memungut pajak dari bea impor dan ekspor. Di Nusantara, dikenal istilah "upeti," yakni persembahan rakyat kepada raja sebagai bentuk ketundukan.
Pada era kolonial Belanda, sistem pemungutan pajak di Indonesia mengalami revolusi. Meskipun jenis dan alokasi pajak berbeda dengan sistem sebelumnya, nyatanya beban pajak tetap tidak berpihak pada rakyat kecil. Hal ini melahirkan berbagai pemberontakan yang menjadi catatan kelam sejarah.Â
Contohnya, Pemberontakan Diponegoro, Pemberontakan Petani Banten, dan Pemberontakan Ratu Adil, semuanya dipicu oleh ketidakadilan dalam sistem perpajakan.