Pada tahun 2030, diproyeksikan bahwa sekitar 575 juta orang di dunia masih akan hidup dalam kemiskinan ekstrem, sementara 84 juta anak akan terhambat akses pendidikannya dan tidak dapat bersekolah (un.org, 2024).
Tantangan kemiskinan ekstrem di masyarakat dunia sangat besar. Kemiskinan ekstrem, atau dalam istilah lain disebut sebagai "melarat", adalah kondisi di mana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan akses informasi (www.tnp2k.go.id).Â
Tidak ada seorang pun yang ingin berada dalam keadaan ini, namun tidak mudah keluar dari kemiskinan. Banyak variabel yang menyebabkan seseorang terperangkap dalam kondisi tersebut.
Salah satunya adalah pengalaman sejarah Amerika Latin pada abad ke-20, yang dilanda gejolak sosial-politik akibat tingginya kesenjangan sosial. Sebagian besar sumber daya ekonomi dikuasai oleh segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat terperangkap dalam kemiskinan yang meluas.Â
Fakta historis ini kemudian melahirkan gerakan teologi pembebasan, yang menekankan perlunya memberikan prioritas pada kebutuhan dan perspektif kaum miskin.Â
Teologi ini bertujuan melakukan analisis dan kontekstualisasi ajaran agama dalam konteks ketidakadilan sosial, serta mengadvokasi perubahan struktur sosial dan ekonomi yang menindas.Â
Hal ini sejalan dengan tujuan SDG 1, yang bertujuan untuk mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk (Bappenas, 2024).
Konteks Lokal Indonesia
Di Indonesia, meskipun tidak secara formal disebut gerakan teologi pembebasan, prinsip-prinsip perjuangan untuk keberpihakan kepada rakyat miskin dan wong cilik sangat terasa.Â
Dalam sejarah perlawanan rakyat, kita bisa melihat bagaimana ketidakadilan sosial dan ekonomi menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat kecil. Misalnya, protes-protes petani di wilayah Jawa yang tanahnya dirampas, pusat penghidupannya dihancurkan, hingga muncul gerakan-gerakan perlawanan seperti Sedulur Sikep, pemberontakan petani Banten, dan beberapa pemberontakan lain. Ini menggambarkan betapa ketidakadilan struktural membuat masyarakat jatuh dalam kemiskinan.Â
Sebagai referensi, kisah-kisah ini dapat ditemukan dalam buku Ratu Adil karya Romo Shindunata.
Contoh lain adalah pemogokan kaum buruh (1917-1926) yang melawan eksploitasi dari pemerintah kolonial Belanda.Â
Puncaknya tentu adalah revolusi nasional Indonesia (1945-1949), yang mengarah pada kemerdekaan Indonesia. Semua gerakan ini menunjukkan bagaimana struktur ekonomi yang tidak adil memperburuk kondisi masyarakat miskin.
Refleksi Kondisi Terkini
"Mereka yang tidak belajar dari sejarah, dikutuk untuk mengulanginya."Â -- George Santayana
Era monopoli pertanian dan industri telah terlewati, kini kita memasuki era digital.Â
Namun, gagasan teori kelas dari Karl Marx tetap relevan. Perbedaan kelas sosial bourgeoisie, proletariat, dan kelas tertindas masih terlihat jelas dalam struktur ekonomi global dan nasional.Â
Dalam era digital, meskipun akses teknologi semakin terbuka, ketimpangan dalam penguasaan teknologi dan sumber daya tetap menciptakan jurang kemiskinan. Ini mengingatkan kita untuk terus mewaspadai kesenjangan ekonomi dan sosial yang dapat semakin lebar.
Sementara itu, dalam perspektif gerakan teologi pembebasan, penting untuk mempertanyakan siapa yang diuntungkan dalam struktur sosial saat ini, dan siapa yang tertinggal.Â
Hal ini menuntut kita untuk mengedepankan perubahan struktural yang berpihak pada rakyat kecil, agar mereka memiliki kesempatan yang setara dalam memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H