"Tahun 2050, 70 persen populasi dunia akan tinggal di wilayah perkotaan."Â - Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Di Indonesia, pada 2045 diproyeksikan sekitar 61,7 persen penduduk akan tinggal di perkotaan, menurut data proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) yang disampaikan oleh Suharso Monoarfa, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).Â
Guru Besar Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs. MSi, mengilustrasikan proses kenaikan angka ini.
Tren perubahan wilayah ini dapat digambarkan sebagai tangga berundak. "Tangga yang paling tinggi adalah kota besar. Dari desa ke kota kecil, kota menengah, lalu yang paling tinggi adalah kota besar," terang Bagong (18/09/2023).Â
Sederhananya, proyeksi kenaikan jumlah penduduk kota ini terjadi akibat urbanisasi.
Tantangan Urbanisasi
Urbanisasi, yaitu perpindahan masyarakat dari desa ke kota, memiliki dampak besar pada kualitas hidup kota serta munculnya berbagai masalah perkotaan.Â
Masalah yang sering terjadi antara lain meningkatnya angka kemiskinan yang berdampak pada peningkatan pemukiman kumuh, tingginya tingkat urban crime (Harahap, 2013), serta dampak ekonomi seperti meningkatnya sektor informal, pengangguran, dan kesenjangan antara si kaya dan si miskin (Aprilia, dkk.).
Hampir seluruh masyarakat dunia mengalami tantangan serupa, yang membuat Sustainable Development Goals (SDGs) mengkhususkan satu goal untuk perkotaan, yakni SDG 11: Sustainable Cities and Communities.Â
Mengingat bahwa kota akan menjadi tempat tinggal mayoritas umat manusia di masa depan, maka kota harus bersiap, berbenah, dan responsif terhadap agenda global. SDGs, sebagai produk global yang dilengkapi dengan metadata, indikator, dan peta jalan konkret, menjadi solusi yang otoritatif untuk mengawal kota menuju kehidupan yang lebih berkelanjutan dan terverifikasi secara global.
Dengan mengintegrasikan SDGs dalam perencanaan kota, secara pragmatik, kota akan mengalami peningkatan kualitas data (BPS, 2014), mampu mengelola sumber daya secara lebih efisien, mengurangi pemborosan, dan meningkatkan efektivitas program (Jayanti, 2023).Â
Selain itu, kota juga bisa mengidentifikasi masalah secara dini (Koch, dkk., 2023), yang memungkinkan penanganan masalah lebih cepat dan tepat.
Praktik Baik
Kota-kota di dunia telah mulai mengimplementasikan SDGs dalam perencanaan kota mereka. Misalnya, Barcelona, Spanyol, yang mengintegrasikan indikator SDGs dalam perencanaan, pembangunan, dan pengambilan keputusan kota (unsdsn.org, 2024).Â
New York City, Amerika Serikat, juga menjadi contoh yang baik dengan program "OneNYC," yang berfungsi sebagai panduan kerja dalam mendukung SDGs. New York City bahkan menerbitkan laporan tahunan untuk memantau kemajuan pencapaian SDGs di kota mereka.
Di Indonesia, ada beberapa contoh kota yang telah memulai langkah serupa. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), melalui laman website bappeda.jogjaprov.go.id, menyediakan data yang jelas, terstruktur, dan transparan mengenai kondisi dan perkembangan capaian SDGs di wilayahnya.Â
Meskipun belum secanggih Yogyakarta, Kota Probolinggo dan Kota Tangerang juga telah melakukan upaya integrasi untuk mendukung pengarusutamaan SDGs di tingkat lokal.
Dengan lebih banyak kota di Indonesia yang mulai mengimplementasikan SDGs dalam perencanaan mereka, diharapkan Indonesia dapat menjadi contoh global dalam menciptakan kota-kota yang lebih berkelanjutan dan inklusif di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H