Mohon tunggu...
Agung Santoso
Agung Santoso Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti isu - isu kemanusiaan.

Tertarik dengan isu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan / Sustainable Development Goals (TPB/SDGs)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Silang Persepsi Kotak Kosong dalam Pemilu

11 September 2024   22:35 Diperbarui: 11 September 2024   22:38 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: www.pelitanusantara.co.id

Pemilu, sering disebut sebagai pesta demokrasi, adalah momen penting di mana masyarakat berperan serta dalam memilih pemimpin yang akan menjalankan amanah rakyat. 

Pemilu bukan hanya ajang memilih, tetapi juga sarana untuk mengekspresikan suara dan harapan terhadap masa depan negara.

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, pemilu adalah cara rakyat menjalankan kedaulatannya untuk memilih pemimpin secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam pelaksanaan pemilu, terutama pilkada, diharapkan masyarakat mendapatkan pilihan yang layak. Namun, ketika hanya ada satu calon yang maju, kotak kosong menjadi alternatif bagi mereka yang tidak setuju dengan calon tunggal tersebut. 

Fenomena kotak kosong ini menimbulkan perdebatan di kalangan para pengamat politik.

Menurut Pengamat Politik UNAIR, Hari Fitrianto, SIP MIP (unair.ac.id, 2024), fenomena kotak kosong lebih disebabkan oleh pengaturan waktu pemilu yang kurang ideal, bukan karena krisis demokrasi. "Fenomena kotak kosong itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan krisis demokrasi. Melainkan, hanya soal pengaturan jadwal antara pemilu nasional dengan pilkada yang terlalu dekat," ungkapnya.

Sebaliknya, Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iding Rosyidin, melihat kotak kosong sebagai tanda kurangnya kompetisi dalam pemilu, yang merupakan elemen penting dalam demokrasi. 

Menurutnya, "Kotak kosong menunjukkan bahwa tidak ada kompetisi, padahal dalam demokrasi, seharusnya ada pilihan untuk menentukan calon yang layak." (nu.or.id, 2024).

Kedua pandangan ini menunjukkan bahwa fenomena kotak kosong dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dari perspektif teknis, seperti yang diungkapkan oleh Hari Fitrianto, masalahnya adalah pengaturan waktu pemilu yang tidak ideal. 

Sementara dari perspektif substansi demokrasi, seperti yang dijelaskan oleh Iding Rosyidin, kotak kosong bisa menjadi indikasi kurang sehatnya kompetisi politik, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam sistem demokrasi.

Mengutip Ballotpedia, "Fenomena kotak kosong bukanlah hal baru dalam demokrasi, dan sering kali menunjukkan ketidakadanya kompetisi dalam pemilihan. Ini dapat mencerminkan kurangnya partisipasi politik atau dominasi calon tertentu."

Penelitian dari www.futurity.org (2017) menunjukkan bahwa pemilihan wali kota di enam negara bagian AS sering tidak memiliki lawan. Sekitar setengah dari pemilihan wali kota di California, Indiana, Kentucky, Louisiana, Minnesota, dan Virginia---yang mencakup sekitar 10% dari seluruh kota di AS---hanya memiliki satu kandidat. Penelitian ini mencakup data selama 17 tahun dari 1.899 kota dan 8.452 pemilihan, menunjukkan bahwa sekitar 50% pemilihan wali kota hanya memiliki satu kandidat. 

Fenomena ini lebih umum di kota-kota kecil---di mana 79% pemilihan tidak memiliki lawan---dan jarang terjadi di kota-kota besar, dengan hanya 15% pemilihan yang tidak memiliki lawan. Tren pemilihan tanpa lawan ini juga semakin meningkat sejak tahun 2000, dengan rata-rata 60% pemilihan wali kota di negara-negara bagian yang diteliti pada tahun 2016 hanya memiliki satu kandidat.

Indonesia nyatanya bukanlah satu-satunya negara yang mengalami fenomena "kotak kosong" dalam proses pemilu. 

Meski demikian, masalah kotak kosong layak mendapatkan perhatian khusus. Komisi II DPR RI dan KPU RI mengadakan rapat untuk membahas aturan terkait apa yang terjadi jika kotak kosong menang di Pilkada 2024. 

Hasilnya, mereka sepakat bahwa jika kotak kosong menang, daerah tersebut akan menggelar Pilkada lagi pada tahun 2025 (tempo.co, 2024).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun