Pemilu, sering disebut sebagai pesta demokrasi, adalah momen penting di mana masyarakat berperan serta dalam memilih pemimpin yang akan menjalankan amanah rakyat.Â
Pemilu bukan hanya ajang memilih, tetapi juga sarana untuk mengekspresikan suara dan harapan terhadap masa depan negara.
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, pemilu adalah cara rakyat menjalankan kedaulatannya untuk memilih pemimpin secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pelaksanaan pemilu, terutama pilkada, diharapkan masyarakat mendapatkan pilihan yang layak. Namun, ketika hanya ada satu calon yang maju, kotak kosong menjadi alternatif bagi mereka yang tidak setuju dengan calon tunggal tersebut.Â
Fenomena kotak kosong ini menimbulkan perdebatan di kalangan para pengamat politik.
Menurut Pengamat Politik UNAIR, Hari Fitrianto, SIP MIP (unair.ac.id, 2024), fenomena kotak kosong lebih disebabkan oleh pengaturan waktu pemilu yang kurang ideal, bukan karena krisis demokrasi. "Fenomena kotak kosong itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan krisis demokrasi. Melainkan, hanya soal pengaturan jadwal antara pemilu nasional dengan pilkada yang terlalu dekat," ungkapnya.
Sebaliknya, Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iding Rosyidin, melihat kotak kosong sebagai tanda kurangnya kompetisi dalam pemilu, yang merupakan elemen penting dalam demokrasi.Â
Menurutnya, "Kotak kosong menunjukkan bahwa tidak ada kompetisi, padahal dalam demokrasi, seharusnya ada pilihan untuk menentukan calon yang layak." (nu.or.id, 2024).
Kedua pandangan ini menunjukkan bahwa fenomena kotak kosong dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dari perspektif teknis, seperti yang diungkapkan oleh Hari Fitrianto, masalahnya adalah pengaturan waktu pemilu yang tidak ideal.Â
Sementara dari perspektif substansi demokrasi, seperti yang dijelaskan oleh Iding Rosyidin, kotak kosong bisa menjadi indikasi kurang sehatnya kompetisi politik, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam sistem demokrasi.