Bayangkan dengan AI, kita cukup ketik beberapa kalimat yang dimaksud; hasilnya jelas, lugas, bereferensi tentang produk-produk unggul yang bisa membasmi flu Anda.Â
Jadi buku kalah telak untuk urusan efisiensi dan kecepatan. Tapi apakah buku sudah tidak berguna? Tunggu dulu kalau untuk statement ini.Â
Saya teringat sabda Nabi: "Terburu-buru itu dari setan dan berhati-hati itu dari Allah." (HR At-Tirmidzi dan Al-Baghawi). Atau kalimat simbah-simbah kita "alon-alon sing penting kelakon"; keduanya mengisyaratkan kita manusia untuk mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang terburu-buru.
Buku merupakan warisan peradaban dalam bentuk literasi. Sudah selayaknya harta warisan dijaga dan dikembangkan dengan baik sebagai sembah bakti kepada jutaan leluhur kita pada masa sebelumnya.Â
Kemudian buku menawarkan pengalaman untuk menyerap ilmu secara perlahan, sehingga ada proses mencerna informasi yang lebih optimal.
Buku juga merupakan sebuah bentuk penyaluran ilmu, informasi, psikologis, kultural, dan spiritualitas penulis kepada pembaca, yang sederhananya kita baca sebagai human interest. Itulah poin mengapa buku tidak tergantikan oleh AI namun dapat saling mengadopsi satu sama lain.Â
Selamanya air dan minyak tidak akan pernah bisa menyatu; begitu pun "rasa" informasi yang berasal dari buku orisinal dan AI akan tetap berbeda.Â
Machine dan human selamanya adalah hal yang berbeda dan memiliki pasarnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H