Seorang fisikawan Prancis, Joseph Fourier (1824) mengejutkan dunia dengan penemuannya bahwa gas rumah kaca dapat memengaruhi suhu bumi.Â
Penemuan yang meresahkan penghuni dunia inilah yang mendorong digelarnya Konferensi Meteorologi Dunia Pertama di Jenewa, Swiss pada tahun 1979.Â
Dalam konferensi ini, para ilmuwan sepakat untuk membentuk Komite Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang akhirnya resmi didirikan pada tahun 1988.
Climate change kini telah menjadi salah satu isu penting yang mendapat perhatian khusus dari masyarakat dunia.Â
Efek nyata yang ditimbulkan climate change seperti kekeringan, banjir, dan bencana alam lainnya praktis menyebabkan manusia terjerumus dalam jurang konflik dan kemiskinan.
Ancaman bencana besar ini ternyata sudah muncul dalam ramalan peradaban Jawa.Â
Seorang pujangga besar Keraton Solo, Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873), telah menggubah sebuah ramalan yang dipercayai oleh orang Jawa sebagai Sabda Raja Joyoboyo sang awatara Wisnu. Adapun penggalan syairnya adalah sebagai berikut:
"Akeh ingkang gara-gara. Udan salah mangsa prapti. Akeh lindhu lan grahana. Dalajate salin-salit. Pepati tanpa aji. Anutug ing jaman sewu, Wolung atus ta iya Tanah Jawa pothar pathir, Ratu Kara Murka Kuthila pan sirna."
Terjemahannya:
"Banyak kejadian dan peristiwa alam maupun dalam kehidupan masyarakat manusia yang luar biasa. Musim penghujan tidak teratur dan sering datang dengan curah hujan tinggi (kebanjiran) hingga tidak ada curah hujan sama sekali (kekeringan)."
Ronggowarsito dalam ramalannya menggambarkan periode kekacauan dan bencana alam yang mengindikasikan perubahan besar dalam tatanan sosial dan alam. Ramalan ini menarik jika dihubungkan dengan fenomena perubahan iklim yang kita hadapi saat ini.Â
Kekeringan dan banjir yang tidak teratur adalah manifestasi nyata dari perubahan iklim yang diakibatkan oleh peningkatan gas rumah kaca di atmosfer.
Ramalan Ronggowarsito tidak hanya menggambarkan perubahan iklim secara fisik, tetapi juga dampaknya pada masyarakat.Â
Seperti yang kita alami sekarang, perubahan iklim berdampak luas pada kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.Â
Konflik sumber daya, peningkatan kemiskinan, dan migrasi massal adalah beberapa konsekuensi yang dihadapi umat manusia.Â
Bermacam-macam kesusahan ini menyengsarakan kalangan wong cilik atau warga biasa pada umumnya.Â
Kondisi dunia yang gelap gulita ini dalam alam pikir ramalan Ronggowarsito ternyata merupakan awal menuju Cahaya kemakmuran.
Era penuh bencana disebut dengan Kalabendu (zaman kutukan) yang akan segera beralih pada era Kalasubo (zaman kebahagiaan). Hal ini terekam dalam lanjutan syairnya sebagai berikut:
"Iku lagi sirem jaman kalabendu, kalasuba kang gumanti, wong cilik bisa gemuyu, nora kurang sandhang bukti, sedyane kabeh kelakon."
Terjemahannya:
"(Waktu) itu barulah reda (keadaan) zaman terkutuk, zaman senang yang menggantikannya, orang kecil (rakyat jelata) dapat tertawa, (karena) tidak kekurangan sandang pangan, semua kehendaknya terlaksana." (Serat Sabda Jati dalam Sindhunata, 2024).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H