Mohon tunggu...
Agung Santoso
Agung Santoso Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti isu - isu kemanusiaan.

Tertarik dengan isu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan / Sustainable Development Goals (TPB/SDGs)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

La Tahzan Innallaha Ma'ana

4 Mei 2024   19:37 Diperbarui: 4 Mei 2024   19:39 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Semua kebenaran di dunia ini harus melewati tiga langkah. Pertama ditertawakan, kedua ditentang dengan kasar, dan ketiga diterima tanpa pembuktian dan alasan."  Arthur Schopenhauer 

Kalimat apik yang saya kutip dari seorang filsuf kenamaan Jerman ini menjadi fondasi penting bagi manusia -- manusia modern untuk memahami harga yang harus dibayar untuk mencapai ambisi dan mimpi. 

Orang selalu bilang sejarah akan berubah tiap generasi dan masanya. Sebagai seorang yang pernah menempuh sarjana dalam jurusan spesifik "Ilmu Sejarah" bukan "Pendidikan Sejarah" maka tentu saya sepakat. 

Namun, dengan waktu studi yang saya habiskan untuk memahami sendi-sendi sejarah dunia, baik Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Nusantara. 

Saya menemukan hal unik yang mungkin tak semua orang dapat menemukannya tanpa melalui penempaan penelusuran fakta sejarah yang panjang dan meletihkan. 

Saya senang karena mendapat anugerah atau ilham mengenai hipotesis ini dan seperti kata Sayidina Ali bin Abi Thalib, "Bahwa tiap sesuatu itu ada zakatnya, dan zakat ilmu adalah mengajarkannya" Dan dalam tulisan ringkas ini saya akan men-downgrade kata "mengajarkan" menjadi "membaginya" mengingat penulis yang masih sangat sedikit ilmu dan pengetahuannya. 

Manusia Dalam Sejarah

Hakikat manusia dalam lintasan sejarah adalah kompetisi dalam mencapai dua hal yakni penguasaan atas relasi ekonomi dan relasi kuasa. 

Dimulai dari sistem feodal yang menjadikan tanah sebagai komoditas dan hak milik dari manusia yang dicap sebagai bangsawan, sehingga memiliki kekuasaan untuk mengontrol bahkan menarik pajak dari rakyat. 

Kemudian era Kapitalisme yang menjadikan alat-alat produksi sebagai komoditas, umumnya individu maupun perusahaan yang memiliki kontrol atas alat-alat produksi memiliki kuasa untuk mengendalikan tenaga kerja atau lazimnya disebut buruh untuk menghasilkan keuntungan bagi pemilik alat produksi (pemodal). 

Era imperialisme merepresentasikan penguasaan atas relasi ekonomi dan relasi kuasa secara kolektif yakni negara (state). 

Bentuk nyata dari imperialisme biasanya menggunakan siasat politik dengan dukungan militer untuk memaksakan kontrol terhadap negara-negara lain agar mengikuti cara main yang ditentukan oleh negara imperialis. 

Kita sekarang sedang hidup di era globalisasi, Dimana pergerakan ekonomi mulai dari barang, jasa, modal, dan informasi dapat dijalankan oleh berbagai pihak, baik negara, swasta maupun individu tentu dengan aturan main yang telah dibuat. 

Globalisasi telah menembus tembok pemisah yang dulunya memisahkan satu bangsa dengan bangsa lain dengan munculnya teknologi digital. 

Beberapa perubahan sistem tersebut merupakan perubahan sejarah secara bertahap namun kita juga harus memahami perubahan tersebut berada dalam tataran cara untuk mencapai penguasaan atas relasi ekonomi dan relasi kuasa. 

Dimana Posisi Kita? 

Kita adalah titik-titik yang membentuk huruf yang tertulis dalam lembaran sejarah. 

Mungkin ada yang sedang berjuang untuk slesai dengan skripsi, tesis, dan disertasinya, mungkin ada yang sedang jatuh bangun mempertahankan atau bahkan memulai bisnisnya, mungkin ada yang sedang bertahan dalam pekerjaan demi menanggung kelangsungan hidup dirinya beserta keluarga. 

Mungkin sedang ada yang meracik strategi untuk meraup suara konstituen demi mencapai penguasaan relasi ekonomi dan relasi kuasa. 

Segala kemungkinan mungkin-mungkin saja terjadi saat ini ketika saya menulis sambil menyeruput cairan hitam di warung kopi. 

Di era globalisasi ini kita yang biasa-biasa saja atau titik titik dalam sejarah memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi pembahasan satu lembar khusus dalam sejarah dibanding jika kita hidup di era-era sebelumnya. 

Semua pilihan kembali pada masing-masing individu. 

Satu hal yang jadi hipotesa saya saat ini adalah seluruh drama penguasaan ekonomi dan relasi kuasa selama berabad-abad kehidupan manusia tersebut merupakan skenario dari Sang Pencipta. 

Untuk menjadi pemeran utama dalam drama sejarah hidup kita ini tentu kita harus meminta restu Sang Pencipta agar lolos dari seleksi casting director kehidupan. 

Mintalah restu Sang Pencipta agar mendapatkan anugerah berupa "La Tahzan Innallaha Ma'ana" dan kelak dengan tirakat kehidupan pahit yang telah dilalui menjadikan kita layak untuk menjadi pemeran utama dalam sejarah minimal sejarah keluarga kecil kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun