"Semua kebenaran di dunia ini harus melewati tiga langkah. Pertama ditertawakan, kedua ditentang dengan kasar, dan ketiga diterima tanpa pembuktian dan alasan." Â Arthur SchopenhauerÂ
Kalimat apik yang saya kutip dari seorang filsuf kenamaan Jerman ini menjadi fondasi penting bagi manusia -- manusia modern untuk memahami harga yang harus dibayar untuk mencapai ambisi dan mimpi.Â
Orang selalu bilang sejarah akan berubah tiap generasi dan masanya. Sebagai seorang yang pernah menempuh sarjana dalam jurusan spesifik "Ilmu Sejarah" bukan "Pendidikan Sejarah" maka tentu saya sepakat.Â
Namun, dengan waktu studi yang saya habiskan untuk memahami sendi-sendi sejarah dunia, baik Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Nusantara.Â
Saya menemukan hal unik yang mungkin tak semua orang dapat menemukannya tanpa melalui penempaan penelusuran fakta sejarah yang panjang dan meletihkan.Â
Saya senang karena mendapat anugerah atau ilham mengenai hipotesis ini dan seperti kata Sayidina Ali bin Abi Thalib, "Bahwa tiap sesuatu itu ada zakatnya, dan zakat ilmu adalah mengajarkannya" Dan dalam tulisan ringkas ini saya akan men-downgrade kata "mengajarkan" menjadi "membaginya" mengingat penulis yang masih sangat sedikit ilmu dan pengetahuannya.Â
Manusia Dalam Sejarah
Hakikat manusia dalam lintasan sejarah adalah kompetisi dalam mencapai dua hal yakni penguasaan atas relasi ekonomi dan relasi kuasa.Â
Dimulai dari sistem feodal yang menjadikan tanah sebagai komoditas dan hak milik dari manusia yang dicap sebagai bangsawan, sehingga memiliki kekuasaan untuk mengontrol bahkan menarik pajak dari rakyat.Â
Kemudian era Kapitalisme yang menjadikan alat-alat produksi sebagai komoditas, umumnya individu maupun perusahaan yang memiliki kontrol atas alat-alat produksi memiliki kuasa untuk mengendalikan tenaga kerja atau lazimnya disebut buruh untuk menghasilkan keuntungan bagi pemilik alat produksi (pemodal).Â