"If there be no enemy there's no fight. If no fight, no victory and if no victory there is no crown." - Thomas Carlyle
Kutipan dari sejarawan Skotlandia itu menginspirasi saya untuk merenungkan kembali cara-cara di mana pemerintahan bekerja, yang sering kali melibatkan menaklukkan satu pihak untuk memenangkan yang lain.Â
Pihak yang kalah umumnya dikenal dengan istilah oposisi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikannya sebagai partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa.Â
Sementara menurut konsultan politik kondang, Eep Saifullah Fatah mengartikan oposisi adalah setiap ucapan atau perbuatan yang meluruskan kekeliruan sambil menggarisbawahi dan menyokong segala sesuatu yang sudah benar.Â
Kekuasaan dan oposisi menjadi dua mata pisau yang tak terpisahkan dalam realitas kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.Â
Mengambil jalan oposisi bukanlah sebuah dosa.Â
Tentu kita paham oposisi memiliki beberapa khasiat seperti, Menjaga Keseimbangan Kekuasaan, Menawarkan Alternatif Kebijakan, dan Meningkatkan Kualitas Demokrasi.Â
Bercak Merah OposisiÂ
Sejarah mencatat bahwa menjadi oposisi di beberapa negara merupakan mimpi buruk.Â
Pasalnya, di beberapa negara oposisi kerapkali mengalami penindasan, intimidasi.Â
Di benua Afrika kita catat Eritrea diklaim sebagai negara salah satu rezim paling represif di dunia, mulai dari wajib militer hingga eksodus pengungsi yang sedang berlangsung (pbs.org, 2021).Â
Asia juga tak luput dari catatan, tentu anda harus melihat laporan-laporan internasional tentang China, Iran, dan Myanmar.Â
Benua Eropa memiliki Rusia dan Belarusia dalam konteks pembahasan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H