Mohon tunggu...
Masad Masrur
Masad Masrur Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Pasca Sarjana USAHID JAKARTA

Pernah kuliah di Fakultas Teknik, tetapi beraktifitas di Organisasi Ekstrakampus dan Wartawan Kampus. Kini barusaja menyelesaikan S-2 Ilmu Politik di FISIP Universitas Indonesia. Kini belajar lagi Ilmu Komunikasi di USAHID JAkarta. Kompasiana diperlukan untuk melepaskan beban pikiran, karena hanya dengan menulis beban itu akan berkurang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konflik Pembahasan RUU Cipta Kerja dalam Perspektif Marx

11 Juli 2021   14:19 Diperbarui: 11 Juli 2021   14:23 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Masad Masrur

Marx menyebutkan bahwa konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat, yang adalah para pekerja dan buruh, didasarkan adanya kepentingan-kepentingan yang bertujuan untuk mempertahankan status atau kelas. Konflik menurut Marx juga berkaitan dengan kaum industrialis dan kaum pekerja. 

Meskipun dalam perspektif hubungan industrial, pemerintah memiliki peran yang besar dan lebih menentukan dan mempengaruhi bentuk dan proses hubungan industrial tri-partit (tri-partism), namun negara dalam melalui norma hukum yang diciptakannya, tetap saja dilihat sebagai alat penindasan yang menguntungkan salah satu pihak.

Para demonstran menganggap bahwa sebagian besar substansi RUU Cipta Kerja hanya menguntungkan para investor dibanding para pekerja. Dengan adanyaa UU Cipta Kerja, akan banyak UMKM yang bertebaran karena akses dan ijin usaha yang dipermudah, sehingga kaum kapitalis akan bermunculan. 

Adanya aturan tentang UMR (Upah Minimum Regional) juga secara tidak langsung memberikan kebebasan bagi para pengusaha atau kaum industrialis dalam memberikan hak-hak para pekerja. Hal ini dianggap semakin membuat para pekerja tidak mendapatkan keadilan. Jam kerja yang tidak sesuai, juga dianggap makin tidak menyejahterakan para kaum pekerja. Hal ini membuktikan bahwa aturan yang telah disahkan dapat menunjang sistem prekonomian dan pembangunan namun tidak menjamin kesejateraaan para pekerja.

Pandangan kelompok penolak RUU Cipta Kerja yang “sejalan” dengan perspektir Marx, tentu ditanggapi berbeda oleh pemerintah. Dalam perspektif hubungan industrial, peran pemerintah bersifat langsung dan tidak langsung dan dilakukan melalui; pertama, fungsi kebijakan, baik yang langsung mengatur hubungan industrial; kedua, fungsi pembinaan, pengendalian dan pengawasan dalam pelaksanaan hubungan industrial; ketiga, fungsi pelayanan dalam pelaksanaan hubungan industrial. 

Melihat peran ini, maka pengajuan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah, dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan atas hubungan industrial. Fungsi pembinaan, pengendalian dan pengawasan dalam pelaksanaan, serta fungsi pelayanan dalam pelaksanaan hubungan industrial, adalah fungsi pemerintah yang sangat sentral dalam struktur negara, (Kartawijaya, 2018).

Tidak seperti perspektif Marx yang melihat masalah buruh dan majikan ini dari sudut pandang sosial-ekonomi, dalam perspektif hubungan industrial, hubungan antara pekerja dan pengusaha bukan merupakan masalah yang berdiri sendiri karena dipengaruhi oleh masalah lain, seperti ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sehingga perlu adanya campur tangan pemerintah. (Widodo dan Judiantoro, 1992). Menurut Ardana, Mujiati, dan Utama, (2012), pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan yang menciptakan harmoni, ketenangan bekerja dan ketenangan berusaha (industrial peace).

Pendekatan ini berusaha mencari solusi untung sama untung bagi semua pihak. Yaitu Hubungan Industrial Pancasila yaitu hubungan antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah dalam praktek perburuhan yang didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945. Hubungan ini didukung oleh 3 (tiga) pilar yaitu rasa memiliki, rasa mempertahankan, dan rasa toleransi, yang didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945. (Ardana, Mujiati, Utama, 2012).

Namun demikian, perpektif pemerintah tersebut, dianggap tidak dapat dibuktikan. Salah satu opini penolakan RUU Cipta Kerja adalah terdapat resentralisme kewenangan yang dinilai mencederai semangat reformasi. Beberapa argumen resentralisme dimaksud diantaranya, pertama, ada kurang lebih 460 PP (Peraturan Pemerintah) yang harus dibuat oleh Pemerintah Pusat sebagai bentuk pengaturan lebih lanjut dari RUU Cipta Kerja; kedua, beberapa kewenangan DPR dialihkan menjadi kewenangan eksekutif terkait izin pemanfaatan kawasan hutan; ketiga, pasal 402A RUU Cipta Kerja memerintahkan bahwa lampiran UU 23/2014 Tentang Pemerintah Daerah harus dimaknai sesuai dengan ketentuan RUU Cipta Kerja; keempat, pasal 174 RUU Cipta Kerja menegaskan kewenangan Menteri, Kepala Lembaga, atau Pemerintah Daerah harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden, (detik.com, 28/1/2021).

Sentralisasi ini pula yang dalam perspektif Marx makin memperkukuh paksaan (coercion) dalam wujud hukum melalui pemeliharaan lembaga-lembaga sosial, antara pihak yang berkuasa denga pihak yang dikuasai. Kecurigaan inilah yang akhirnya menguat dan memperparah hubungan antara masyarakat penolak RUU Cipta Kerja sehingga menimbulkan aksi kekerasan di berbagai daerah yang menimbulkan banyak kerugian.

Dalam kasus RUU Cipta Kerja, organisir yang dilakukan oleh gerakan masyarakat sipil dengan melibatkan sekitar 2 (dua) juta buruh di 150 (seratus limapuluh) kabupaten/kota yang berada di 20 (duapuluh) provinsi seluruh Indonesia dan mengancam mogok masal, dapat dilihat sebagai membongkar sistem pertahanan yang mendukung hegemoni kelas borjuis. Meskipun resiko kerusuhan perusakan fasilitas umum dan tercipta klaster baru akibat pandemi Covid-19, gerakan masyarakat sipil mayoritas menyampaikan bahwa RUU Cipta Kerja jauh lebih berbahaya daripada kerusakan fasilitas umum maupun Covid-19, (bbc.com/indonesia, 25/1/2021).

Perpektif Marx terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja lebih banyak dilihat dari prspektif teori kelas sosial-ekonomi, dan menempatkan kelas berkuasa sebagai pihak yang memiliki kekuatan melalui hukum yang tidak memihak pada kelas yang dikuasai. Kewajaran konflik yang terjadi akibat pertentangan kelas sosial-ekonomi, dapat dirunut dari perspektif tersebut. 

Perspektif Marx yang menunjukkan bahwa dalam masyarakat, terdapat kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin (proletar), akan selalu “saling berhadapan” dalam kepentingan yang selalu berbeda. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial yang hirarkis, dan borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar dalam sistem produksi kapitalis.

 Pemikiran Karl Marx yang melihat masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus di antara kelompok dan kelas sosial, juga seolah melegitimasi “setiap tindakan” yang dilakukan oleh kelas-kelas tersebut dalam memperjuangkan pendapatnya.

Sementara pemerintah, yang berperspektif hubungan industrial yang menciptakan harmoni, ketenangan bekerja dan ketenangan berusaha (industrial peace), sulit dibuktikan. Meskipun pendekatan ini berusaha mencari solusi untung sama untung bagi semua pihak, namun dalam banyak hal, poin-poin penolakan dari kelompok kontra-Cipta Kerja justru menunjukkan kebenaran yang dapat diperdebatkan. Sentralisme kewenangan, membuka celah korupsi, legalisasi upah di bawah standar, potensi PHK massal, dan resentralisasi kewenangan kembali ke pusat, misalnya, dapat ditunjukkan melalui beberapa poin norma dalam RUU. Pada posisi inilah perspektif Karl Marx sebagian terkonfirmasi kebenarannya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun