Oleh Masad Masrur
Apa yang anda tahu tentang Kamboja. Negara ini adalah ladang pembantaian oleh warganya sendiri pada tahun 1970-an. Khmer Merah, pasukan komunis Kamboja, melakukan pembersihan dan penyiksaan terhadap warganya sendiri yang tidak sefaham dan seideologi. Lainnya itu, saya hanya tahu mengenai Angkor Wat, sebuah candi besar yang menjadi lambang negara dan tergambar jelas di bendera Kamboja. Bukan hanya ladang pembantaian atau Angkor Wat, Kamboja juga merupakan saudara se-ASEAN dengan kita. Dalam rangka mengunjungi saudara sesama ASEAN-lah saya kesana.
Menjelang mendarat di Kota Phnom Penh, nampak dari pesawat: daratan kota dipenuhi air, seperti banjir lumpur. Tapi begitu mendarat, ibukota Kamboja ini mengingatkan kota kecil saya, Kartasura, dengan pasar yang hampir mirip dengan pasar besar, mungkin yang terbesar, yang ada di kota itu. Disini saya membeli buku tentang Angkor Wat dan beberapa kaos serta kartu pos.
Kemudi di sebelah kiri, menunjukkan bahwa di negara bekas jajahan Prancis ini, berjalan harus di sebelah kanan. Berbeda dengan Indonesia yang berjalan di sebelah kiri. Batik Kamboja yang khas merah gelap meriah mirip corak selendang Batak, dipakai oleh banyak warga disini. Gamelan, tarian mirip tarian Bali, dipersembahkan kepada tamu-tamu mereka. Menggunakan Bahasa Kamboja yang saya kurang mengerti, kami mengiyakan saja permintaan-permintaan mereka, seperti berfoto atau apalah.
Dari Phnom Penh, kami terbang menuju kota warisan dunia dimana Angkor Wat berada: Siem Reap. Setelah beberapa waktu menaiki bus menuju wilayah candi-candi yang amat luas, kami diantar ke tempat tujuan pertama: Angkor Thom. Cuaca gerimis memaksa kami meminjam payung. Di jalanan yang agak becek, kami memasuki reruntuhan Angkor Thom yang selama ini hanya kami ketahui dari cerita di Film Thom Raider. Pada jembatan di depan gerbang kota terdapat ukiran ular naga yang ditarik barisan dewa dan asura. Bangunan-bangunan dalam kota Angkor Thom dibangun dalam langgam (gaya arsitektur) Bayon. Kami menyebutnya Candi Bayon. Gaya ini memiliki ciri bangunan berskala besar, banyak menggunakan batu laterit, dan pembangunan menara yang berukir wajah-wajah berukuran besar di setiap gerbang masuk kota. Wajah-wajah ini hingga kini masih menimbulkan pertanyaan dan banyak penafsiran. Wajah-wajah ini mungkin menggambarkan wajah sang raja (Jayavarman VII), bodhisatwa Awalokiteswara, para dewata penjaga empat penjuru mata angin kerajaan, atau kombinasi dari semuanya.
Kompleks candi-candi di Bayon sangat luas. Kondisinya masih asli meski bekas tapak kaki dan kendaraan para turis yang teru-terusan berdatangan dikhawatirkan merusak suasana lingkungan Bayon. Kompleks yang luas ini menunjukkan betapa metropolisnya wilayah itu di era itu. Yaitu era abad ke-12 hingga awal abad ke-13, dimana candi-candi yang kaya ukiran ini dibangun. Hebatnya candi-candi yang bersifat Budha Mahayana yang dibangun atas prakarsa Raja Jayawarman VII, candi ini kerap diubah fungsinya menjadi candi Hindu dan Budha Theravada sesuai keinginan raja berikutnya. Kadang Budha kadang Hindu, menunjukkan betapa toleransi beragama di zaman itu sudah cukup berkembang.
Setelah lelah berjalan kaki di wilayah Angkor Thom, menuju ke Angkhor Wat tidak mungkin berjalan, pasti capek. Namun dengan kendaraan bus terbuka, kita dapat melintasi wilayah Bayon menuju Angkor Wat yang seperti di gambar: betapa elitnya wilayah itu. Angkor Wat dikelilingi parit persegi yang luas. Jalan menuju ke Angkor Wat adalah jembatan panjang. Tak sabra kami menuju bangunan yang kami bayangkan sebelumnya seperti tempat bersemayamnya para dewa.
Menurut mitos, Angkor Wat dibangun atas perintah Dewa Indra untuk dijadikan istana putranya, Preca Ket Mealea. Menurut keterangan musafir Tiongkok dari abad ke-13, Zhou Daguan, ada pihak-pihak yang percaya bahwa Angkor Wat dibangun hanya dalam semalam oleh dewa undagi. Benar saja, kekaguman kami dengan bangunan yang sudah mulai runtuh itu tidak habis. Ketika saya menaiki tangga buatan yang curam untuk masuk di salah satu Menara Angkor Wat, langsung saya bayangkan betapa sulitnya masuk ruangan ini. Jaman dahulu mungkin hanya yang mampu terbang saja yang memasuki wilayah Menara ini, mungkin semacam Gatotkaca atau Bathara Krisna. Sepertinya bangunan ini memang tidak diperuntukkan bagi manusia biasa.
Silahkan jika anda ingin mengetahui lebih banyak isi di dalam dan diatas menara Angkor Wat: sebuah kolam kering, yang saya yakin jaman dahulu ada airnya untuk mandi para dewa. Apakah lantai-lantai batu itu tidak bocor? Bagaimnana mengalirkan air ke atas menara untuk mengisi kolam. Ah sangat sulit dibayangkan. Untuk menaiki menara candi saja tidak ada jalan sama sekali, tangga kayu buatan yang kami naiki tentu tidak ada di jaman itu.
Memang tidak keliru, di dalam kisahnya, bertolak dengan kebijakan raja-raja pendahulunya yang menganut aliran Shiwa, Suryawarman II membaktikan Angkor Wat kepada Dewa Wisnu. Dalam kisah mahabarata, Krishna adalah titisan Dewa Wisnu. Jadi memang Angkor Wat ini dipersembahkan buat Dewa Wisnu. Namun, menjelang akhir abad ke-12, sedikit demi sedikit Angkor Wat diubah dari sebuah pusat peribadatan agama Hindu menjadi pusat peribadatan agama Buddha. Fungsi baru ini bertahan sampai sekarang. Angkor Wat masih difungsikan sebagai tempat peribadatan hingga kini.
Jika anda melihat Bendera Kamboja, merah biru dan gambar Angkor Wat ditengahnya mengartikan bahwa biru menyimbolkan keluarga kerajaan, merah menyimbolkan negara, dan simbol Angkor Wat menyimbolkan agama. Jika ketiga warna tadi dikombinasikan, didapatlah makna kalau negara Kamboja dan rakyatnya yang beragama berada di bawah naungan kerajaan. Tiga menara di Angkor Wat, menurut teman dari Kamboja yang menemani kami: satu menara adalah dewa, satu menara adalah raja, dan satu menara adalah rakyat.