Mohon tunggu...
Mohammad Masad Masrur
Mohammad Masad Masrur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana USAHID

Pernah kuliah di Fakultas Teknik, tetapi beraktifitas di Organisasi Ekstrakampus dan Wartawan Kampus. Setelah menyelesaikan S-2 Ilmu Politik di FISIP Universitas Indonesia, kini belajar lagi Ilmu Komunikasi di Universitas Sahid Jakarta. Kompasiana diperlukan untuk melepaskan beban pikiran, karena hanya dengan menulis beban itu akan berkurang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kuburan Batavia

30 Juni 2021   19:01 Diperbarui: 30 Juni 2021   19:17 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masad Masrur

Sungguh akan sangat mengecewakan jika sebuah perjalanan jauh hingga ke Belanda, pulang tanpa membawa “apa-apa”. Namun, meskipun “apa-apa” itu bagi setiap orang bisa berbeda-beda, saya lebih memilih buku terbitan Belanda yang ada hubungannya dengan Indonesia sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang. Buku-buku semacam itu tentu banyak, karena Belanda berhubungan dengan Indonesia selama ratusan tahun. Tapi saat saya menemukan sebuah toko buku di Amsterdam, saya langsung menoleh ke bagian buku fiksi sejarah. Saya menemukan Novel Batavia’s Graveyard: the true story of the mad heretic who led history’s bloodiest mutiny karya penulis asal Wales, Mike Dash. Apa isinya?

Karena toko buku ini, Scheltema: Boekverkopers, cukup luas dan menjual buku-buku yang sebagian besar berbahasa Belanda. Saya menemukan Batavia's Graveyard dalam bahasa Belanda, segera saya temui penjualnya dan menanyakan buku ini dalam versi bahasa Inggris. Saya mendapatkannya. Membaca buku dengan kapasitas bahasa Inggris yang “pas-pasan”, saya menemukan bahwa novel kisah nyata ini diterbitkan sejak tahun 2002. Batavia's Graveyard mengisahkan pelayaran yang melelahkan dari Eropa ke Hindia Belanda, dilengkapi kesaksian rinci mengenai peristiwa yang terjadi di “pulau kuburan” di lepas pantai Australia Barat. Disebut pulau kuburan, karena terjadi pemberontakan terbesar sepanjang sejarah yang dipimpin oleh salah satu perwira kapal bernama Jeronimus Cornelisz. 

Sebagaimana sebuah kisah kepahlawanan, selain diceritakan tentang Jeronimus Cornelisz sebagai pemberontak dan penjahat, kali ini tokoh pahlawannya adalah Wiebbe Hayes. Wiebbe Hayes adalah seorang tentara kolonial dari Winschoten Belanda. Ia memimpin sekelompok prajurit dan pelaut dan selamat dari kapal karam bernama Batavia. Ia melawan para pemberontak Jeronimus Cornelisz di Houtman Abrolhos Islands (Kepulauan Wallabi) di lepas pantai Australia Barat pada tahun 1629. Baiklah, saya ringkaskan sedikit mengenai isi buku ini, yang diawali dari kisah perjalanan Wiebbe Hayes.

Pada Oktober 1628, Hayes menaiki Kapal bernama “Batavia” bersama dengan sekitar 70 tentara lainnya yang bekerja di bawah Dutch East India Company (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, atau VOC). Mereka akan bertugas di Hindia Belanda selama lima tahun. Sebagian besar tentara yang ikut adalah orang-orang muda berumur belasan atau awal dua puluhan. Pada malam 3 Juni 1629, Kapal Batavia berlayar dengan kecepatan tinggi saat Hayes melihat bahwa kapal berada di laut dangkal. Dia memperingatkan kapten Ariaen Jacobsz, namun sang kapten tidak mengubah arah. Kapten mengira bahwa dangkalnya laut itu hanyalah refleksi bulan. Tak lama setelah itu, Batavia yang melaju dengan kecepatan penuh itu kandas pada terumbu karang di Kepulauan Wallabi Australia Barat.

Sebagai pelaut dan tentara, Hayes membantu proses pengangkutan orang-orang ke pulau-pulau terdekat, membantu penumpang turun, mengamankan pasokan, menenangkan penumpang dan awak kapal, dan melakukan apa pun yang harus dilakukan. Kepala-merchant VOC Francisco Pelsaert dan Kapten Adriaen Jacobsz menyadari, bahwa hanya ada satu kesempatan menyelamatkan para korban, yaitu keluar pulau mencari bantuan. Empat hari setelah kapal karam, Francisco Pelsaert bersama Adriaen Jacobsz dengan sekitar 40 orang lain, berlayar dengan perahu terbuka menuju Jawa untuk mendapatkan bantuan. Sementara, para korban yang ditinggal di pulau itu dipimpin Jeronimus Cornelisz sebagai pemimpin VOC yang paling senior. Tapi rupanya, Cornelisz telah merencanakan pemberontakan sebelum kapal karam.

Cornelisz merencanakan bersama dengan rekan-rekannya, berkonspirasi untuk menggunakan Batavia sebagai kapal untuk pembajakan. Setelah kapal karam, Cornelisz dan pendukungnya berencana menguasai kapal penyelamat ketika tiba. Apa yang dilakukan Cornelisz dan pendukungnya sangat mengerikan. Cornelisz membentuk aturan pribadi yang brutal di kepulauan itu, ketika persediaan makanan dan air menjadi langka, para pemberontak mulai membunuh sesama mereka, pada awalnya diam-diam tetapi akhirnya makin terbuka.

Cornelisz dan para pengikutnya kemudian mulai pemerintahan teror di pulau itu, memperkosa, membunuh dan meneror para penumpang tak berdaya dan kru yang bukan bagian dari konspirasi mereka. Cornelisz dan kaki tangannya bertanggungjawab atas kematian antara 110 dan 124 pria, wanita dan anak-anak selama dua bulan itu. Korban ditenggelamkan, dicekik, dipotong-potong atau dipukul sampai mati secara sendiri atau dalam kelompok besar. Tujuh perempuan yang masih hidup dipaksa menjadi budak seks. Lucretia Jans diberikan perlakuan istimewa dengan hanya boleh melayani nafsu Cornelisz. Dikisahkan, Cornelisz dan kawan-kawannya sangat kejam seperti psykopat. Mereka membunuh dan melakukan penyiksaan yang keji.

Tetapi Cornelisz ditantang oleh kelompok lainnya yang dipimpin oleh seorang prajurit biasa, Wiebbe Hayes, yang dikirim ke pulau terdekat untuk mencari makanan dan air, dan ditinggalkan agar mati kehausan. Tanpa diduga, mereka menemukan air dan makanan, dan kemudian mereka diperingatkan oleh beberapa orang yang selamat dari pembunuhan kelompok Cornelisz. Mereka mendirikan pertahanan melawan pemberontak. Setelah gagal dalam dua kali serangan, Cornelisz mencoba bernegosiasi dengan Hayes, tapi ia ditangkap dan letnan utamanya tewas. Jeronimus Cornelisz dan kelompoknya akhirnya gagal melaksanakan niatnya merebut setiap kapal penyelamat, membantai awak dan memutar bajak laut di Samudera Hindia. Ketika Pelsaert akhirnya kembali di sebuah kapal kecil yang disebut Sardam, Cornelisz dan anak buahnya ditangkap dan digantung di pulau itu juga. Itulah makanya, pulau Abrolhos menjadi Batavia’s Graveyard atau Kuburan Batavia. Dan akhir ceritanya adalah ketika  Wiebbe Hayes menjadi pahlawan nasional VOC.

Sisa-sisa tembok pertahanan dan tempat penampungan batu yang dibangun oleh Wiebbe Hayes dan anak buahnya di Barat Wallabi Pulau adalah struktur Eropa tertua di Australia. The Wiebbe Hayes Stone Fort dan baik yang masih bisa dilihat sampai hari ini. Pada 1970-an, bangkai kapal Batavia terletak dan banyak artefak yang diselamatkan. Beberapa dari mereka adalah sekarang pameran di Galeri Batavia di Fremantle, Australia Barat.

Itulah secuplik epos kepahlawanan Belanda dan kekejian orang-orang Belanda yang dikisahkan dalam novel Batavia’s Graveyard. Meskipun Belanda menjajah ratusan tahun di Nusantara, namun jejak petualangan mereka hingga menembus negeri ini layak kita ketahui.

**

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun