Mohon tunggu...
Ahmad Muhammad
Ahmad Muhammad Mohon Tunggu... -

Pengais sisa-sisa kearifan orang2 terdahulu yang hampir punah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ning Sarah

19 Maret 2017   22:18 Diperbarui: 19 Maret 2017   22:43 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah kapal mesin jurusan Semarang telah meninggalkan dermaga pelabuhan Kumai, Kalimantan. Hamid masih memegangi surat itu dan membacanya berulang-ulang. Ia seakan tak percaya, gurunya, Kyai Ahmad, meminta dirinya untuk datang pada acara Haflah Akhirussanah.

Kerinduannya pada sosok yang amat ia kagumi itu kembali terlintas. Walau tiap hari ia tak pernah lupa hadiah fatihah, apa yang sedang dirasakan  terasa beda. Lima belas tahun sudah ia tak pernah lagi bertandang ke almamaternya, Pondok Pesantren Nurul Huda dan sowan gurunya. Ia tiba-tiba begitu rindu suasana kehidupan pesantren yang tak ia dapatkan di lingkungan barunya.

Udara di atas kapal dengan hempasan angin nan semilir membawa Hamid pada kenangan masa lalu, romantisme kehidupan pesantren, tempat di mana ia menuntut ilmu agama dibawah asuhan Kyai Ahmad. Lamunannya yang panjang akhirnya berhenti pada peristiwa yang tak terlupakan. Peristiwa saat ia mengutarakan isi hatinya untuk melamar putri beliau, Ning Sarah. Saat itu Kyai Ahmad tak memberi respon apapun. Padahal, beliau tahu, putrinya ada rasa dengannya. Sebagai santri senior, Ia sangat dekat dengan lingkungan keluarga Ndalem. Kedekatannya itu menghantarkan perkenalannya dengan putri sulung sang kyai. Ia sendiri tak tau, mengapa tiba-tiba ada perasaan aneh bila berpapasan dengan Ning Sarah. Harapannya ternyata tak bertepuk sebelah tangan, walau jawaban itu hanya ia peroleh lewat kerlingan mata. Hamid nampak kecewa dengan penolakan itu. Tapi ia berusaha untuk tetap tegar walau cintanya harus kandas.

Sejak peristiwa itu, ia jarang dipanggil kyai untuk suatu keperluan atau mewakili beliau bila berhalangan hadir di suatu acara. Ia juga tak pernah lagi melihat wajah innocent Ning Sarah, yang selalu hadir dalam mimpinya. Tapi ia masih bisa lega kalau Kang Sholeh, abdi Ndalem dan salah satu orang kepercayaan kyai, menemui dirinya dan menyampaikan sesuatu.

“ Ada salam dari Ning Sarah”, katanya lugu.

Hati Hamid berbunga-bunga walau ia tak antusias untuk membalas salam itu. Ia merasa sudah tak lagi punya harapan untuk dapat memiliki Ning Sarah.

Tiga bulan setelah peristiwa itu, Hamid berpamitan pulang pada Kyai Ahmad. Walau cintanya tak mungkin hapus, Hamid tak ingin membiarkan dirinya berlama-lama bergelut dengan kesedihan. Tujuh tahun sudah ia tinggal di pondok. Ia ingin suasana baru. Toh bekal ilmu yang ia dapat sudah cukup untuk dikembangkan di rumah. Keputusannya untuk pulang adalah jawaban paling tepat agar ia bisa melupakan Ning Sarah dan membuka lembaran baru bagi masa depan hidupnya.

“Kamu adalah salah satu santri terbaikku. Aku sangat bangga bila kamu dapat mengabdikan ilmumu dan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Tak ada kebahagiaan yang diimpikan oleh setiap santri selain ilmunya berkah dan bermanfaat bagi dirinya dan juga orang lain. Soal Sarah, mungkin Allah menghendaki lain. Aku hanya bisa memberi doa restu, semoga kehidupanmu kelak diridhoi Allah dan mendapat pendamping hidup yang terbaik”.

Hamid hanya terdiam dan mengamini apa yang telah disampaikan gurunya, saat ia berpamitan. Dari kejauhan , tampak di balik gordyn, sesosok bayang yang tak asing di mata Hamid. Rupanya Ning Sarah sempat mendengar ayahnya memberi pesan dan petuah pada dirinya. Hamid sudah merasa plong setelah berpamitan, walau hatinya remuk berkeping, karna cintanya tak bisa ia sandarkan di hati Ning Sarah. Sementara dari balik gordyn itu, bayang-bayang Ning Sarah tak lagi terlihat olehnya. Rupanya angin telah membawanya pergi dan menyembunyikannya di balik dinding kamar yang turut berduka atas kegundahan hatinya mendengar kenyataan cintanya tak berlabuh.

Sebulan setelah Hamid tinggal di rumah, ia mendapat kabar dari Kang Sholeh, bahwa Ning Sarah dilamar oleh Gus Faqih, putra dari Kyai Abdullah, pengasuh sebuah pesantren terkemuka di Jawa Timur. Berita itu semakin menghancurkan hatinya. Berhari-hari ia tak bisa tidur nyenyak. Hatinya memang hancur. Tapi cintanya justru semakin membara memenuhi rongga dadanya. Ia tak tau, bagaimana harus membunuh perasaan itu. Orang tuanya yang mengetahui kondisi Hamid dan mengkhawatirkannya, akhirnya menyarankan agar dirinya merantau, mengikuti jejak kakaknya, Mahmud, ke Kalimantan. Setelah berpikir panjang dan mempertimbangkan berbagai hal, Hamid akhirnya menyetujui saran orangtuanya untuk merantau.

Kini setelah 15 tahun, kenangan masa lalunya kembali melintas. Surat dari Kyai Ahmad yang diterimanya, membangkitkan romantisme masa lalu saat masih mondok. Isi surat itu sendiri sangat singkat. Beliau menginginkan dirinya bisa hadir dalam acara Haflah Akhirussanah. Ada yang ingin beliau bicarakan dengan dirinya. Sempat terlintas niatnya untuk tak memenuhi panggilan gurunya itu. Ia tak ingin kenangan masa lalunya kembali menghantui hidupnya. Tapi hati kecilnya tetap tak bisa dibohongi. Kerinduannya tidak hanya pada sosok gurunya, Kyai Ahmad. Juga bukan hanya pada almamater tercinta, tapi juga seseorang yang pernah mengisi hatinya, Ning Sarah. Ia masih secantik dulukah? Atau telah berubah? Mungkinkah badannya berubah subur seperti ibunya, Nyai Hanah? Berapa anaknya? Ah, kenapa aku jadi sentimentil begini? Pikir Hamid. Tiba-tiba lamunannya buyar ketika kapal yang membawanya dihantam ombak cukup keras hingga membuat kapal sedikit oleng.

Sampai di Semarang, Hamid langsung mencari angkutan menuju Kudus. Ia sengaja tidak mampir rumah dan langsung menuju pondok. Begitu memasuki kawasan pesantren, suasana haflah telah tercium olehnya. Tapi ia merasakan sesuatu yang lain. Ia seperti kehilangan sesuatu yang selama ini melekat di ingatannya. Pesantren ini telah berubah sedemikian rupa. Tak ada lagi bangunan klasik nan eksotik. Semua telah bergantu bangunan modern nan angkuh dan mengubur semua kenangan yang pernah lahir di tempat itu. Hanya bangunan masjid yang rupanya belum banyak berubah. Perbaikan pada serambi tak memengaruhi bentuk fisik rumah Allah itu. Hamid jadi canggung untuk memasuki almamaternya itu. Tak ada keramahan dari santri-santri yang ia temui.

“ Mas Hamid, ya?”, tanya seorang lelaki seusia dirinya.

Hamid mengernyitkan dahi, sambil mengingat-ingat lelaki yang menyapanya.

“ Ya. Kamu Sholeh?”.

Lelaki itu mengangguk dan langsung menubruk dan menciuminya. Melepas rindu pada teman karibnya. Tak terasa airmata haru menetes. Ia seperti temukan oase di tengah padang. Kehangatan orang-orang di pondok ini ternyata masih tersisa, walau pesantren telah berubah.

Sholeh kemudian mengajak Hamid singah di rumahnya yang berada di belakang pondok. Di rumah itu, semua kerinduan dan rasa kangen  mereka tumpahkan. Sholeh juga mengenalkan istri dan dua anaknya. Istri Sholeh adalah Maemunah, yang sempat hendak dijodohkan dengan dirinya oleh Kyai Ahmad.

Tak terasa, mereka telah tiga jam lebih ngobrol ngalor ngidul, diselingi gelak tawa, menceritakan kekonyolan masing-masing waktu masih mondok. Sholeh akhirnya mempersilahkan Hamid untuk beristirahat di kamar yang telah dipersiapkan oleh maemunah, istrinya, sebelum sowan Kyai Ahmad.

Di kamar, setelah mandi dan shalat, Hamid berdiri di depan jendela, memandangi suasana pesantren yang nampak tambah besar, walau sedikit angkuh. Tiba-tiba ia mencium bau bunga melati. Bau itu tak pelak mengingatkannya pada Ning Sarah. Bunga yang selalu diselipkan di kerudung putihnya. Aneh, mengapa tadi saat bersama Kang Sholeh, tak sedikitpun menyinggung soal Ning Sarah? Lupakah mereka? Atau karena Ning Sarah sudah tidak di sini dan dibawa suaminya, hingga mereka berdua lupa tak menceritakan soal Ning Sarah? Hatinya mendadak berdegup tak karuan. Rasa ingin taunya membuat Hamid tak sabar ingin segera sowan Kyai Ahmad. Ia tak peduli bila harus ketemu Gus Faqih, suami Ning Sarah. Ia sudah siap mental bila harus melihat Ning sarah menggendong bayi buah cintanya dengan Gus Faqih. Hamid tetap ingin melabuhkan rindunya, walau tak mungkin memilikinya.

Saat maghrib tiba, Hamid berangkat ke masjid bersama Kang Sholeh dan istrinya. Ia berbaur dengan para santri. Kenangan indah hidup di pesantren selalu membuatnya hanyut. Ia sengaja mengambil shaf paling depan, agar Kyai Ahmad tau, dirinya telah datang. Benar juga. Sehabis Shalat sunah  Ba’diyah, beliau langsung meminta Hamid menunggunya di serambi Ndalem.

Sesampai di serambi, Hamid mengambil tempat duduk yang menghadap ke arah ruangan tengah rumah joglo itu. Di ruang itu, dulu ia sering melihat Ning sarah melintas, mencuri perhatiannya. Ia merasakan suasana yang sama dengan suasana lima belas tahun lalu. Rumah yang sederhana namun menawarkan kesejukan hatinya, seperti juga pesona Kyai Ahmad, yang pancaran raut wajahnya begitu teduh berwibawa.

Beberapa saat kemudian Kyai Ahmad tiba dan langsung mengambil posisi duduk tepat di hadapannya.

“ Jam berapa tadi datang?”, tanya Kyai Ahmad membuka pembicaraan.

“ Ba’da zhuhur, dan singgah dulu di rumah Kang sholeh”, jawab Hamid dengan wajah menunduk takzhim. Aura wajah Kyai Ahmad memang membuatnya tak kuasa menatap wajah sang guru.

Kyai Ahmad diam sejenak. Hamidpun seperti terpaku dan tetap menunduk menunggu, apa yang hendak disampaikan gurunya itu.

“ Kamu tau? Mengapa aku memanggilmu?”, tanya Kyai Ahmad kemudian.

Hamid hanya diam menggeleng.

“ Lima belas tahun lalu kamu pernah melamar anakku, Sarah. Waktu itu, aku tak memberi jawaban. Aku merasa berdosa dengan sikapku yang mungkin membuatmu sakit hati. Tapi ketahuilah, rencana manusia tak pernah selalu seiring dengan kehendak Allah. Dan doa, adalah pintu paling dekat dengan rencana Allah. Hari ini, mungkin Allah mengabulkan apa yang selama ini kau panjatkan lewat doa-doa malammu. Karena hari ini aku ingin kau menikahi Sarah, anakku. Barangkali Allah berkehendak, jodoh bagi Sarah adalah kamu.”

Hamid tak bisa berkata-kata setelah Kyai Ahmad mengutarakan ihwal pemanggilannya itu. Kebahagiaannya bercampur dengan tanda tanya. Ia menerima begitu saja tanpa bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada diri Ning Sarah. Semuanya di luar apa yang ada dalam pikirannya. Seperti mimpi yang jadi nyata. Benarkah pernikahan Ning Sarah dengan Gus Faqih tak pernah terjadi? Atau? Lagi-lagi Hamid harus menyimpan tanda tanya itu. Ia tak ingin dirisaukan dengan hal-hal yang hanya akan mengganggu saat-saat bahagianya. Bagaimanapun mimpi Hamid menikahi Ning Sarah menjadi kenyataan. Di tengah rasa bingung bercampur bahagia, Kyai Ahmad telah meninggalkan dirinya sendiri di serambi.

Sementara itu, sambil menunggu Hamid, Kang Sholeh dan istrinya berbincang berdua di rumahnya. Sesuatu tentang Ning Sarah. Mereka tau bahwa Hamid bakal dinikahkan dengan Ning sarah. Tapi mereka tak mungkin menceritakan pada Hamid, hal yang sebenarnya terjadi pada diri Ning sarah. Mereka tak ingin mengecewakan temannya itu. Mereka ingin melihat temannya bahagia, walau mereka juga tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. Sebenarnya sudah empat kali Ning Sarah dilamar orang. Mulai dari Gus Faqih, yang kemudian meninggal saat pulang dari melamar karena kecelakaan. Kemudian Ustadz Hanif, yang mengalami nasib serupa. Mobilnya masuk jurang dan merenggut nyawanya. Ketiga Seorang dosen sebuah universitas terkenal. Setelah meminang, ia menghilang dan tak pernah ada kabar hingga sekarang. Terakhir Habib Aly, ia mendadak jatuh sakit sesaat menjelang akad nikah. Dan kini, akankah Hamid bernasib seperti mereka? Wallahu A’lam. Semoga ia benar-benar jodoh yang dipilih Allah buat Ning sarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun