Mohon tunggu...
Wisnu Sudiro
Wisnu Sudiro Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Orang Jogja yang jadi pegawai negeri sipil yang kantornya di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta Hari-hari Ini

30 September 2010   13:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:50 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Temanya adalah Jakarta yang kembali normal. Mudikers sudah kembali ke Jakarta tercinta. Sangat tercinta, yang karenanya rela meninggalkan hangat keluarga dan permai kampung halaman. Bahwa setiap orang mesti  gembira jika segalanya berjalan normal. Segala abnormal akan dianggap tak nyaman, meski lebih sering dinyaman-nyamankan. Harga beras normal, gula darah normal, ketinggian air di bendungan normal, berat bayi normal, dan antek-anteknya, nyaman bukan? Dengan begitu, mari bersuka cita dengan kembali normalnya jakarta, yang tidak lagi lengang seperti saat musim lebaran. Normalnya adalah saat macet, saat bising, saat panas. “Bukan Jakarta kalo gak macet mas..” seloroh sopir bajaj kala itu. Bahwa normal memang bukan untuk menyebut kondisi yang biasanya, lebih tepat untuk yang ideal, bahkan seharusnya. Bahwa lelaki seharusnya suka perempuan, itu yang normal. Bahwa perempuan seharusnya suka lelaki, itu yang ideal.

Temanya Jakarta yang kembali normal. Mari mensyukurinya dengan sebuah pertanyaan: Apa benar kita hidup normal di Jakarta? Apa yang membuat kita rela menikmati kemacetan dan polusi ini? Apa yang membuat kita rela berdesak-desak dalam bus penuh di jalan yang macet. Apa yang membuat begitu tega jauh dari orang tua yang telah membesarkan kita, yang kita balas dengan meninggalkan mereka saat  tubuhnya makin renta. Hmm..maaf sebelumnya..menurutku alasannya adalah uang (Ini tidak mutlak, silakan kalo ada yang pendapat lain).

Kehidupan yang normal bahkan sesuai tuntunan agama menuntun kita baik dengan tetangga, harus sangat baik. Jadi jangan iri melihat Mbah Marto selalu dicari orang untuk memandikan jenazah. Jangan ngiler melihat Pak Gito baik hati membagikan ikan mujair dari kolamnya kepada para tetangga. Jangan mupeng melihat Mbak Tri yang tulus merawat orang tuanya yang sudah sepuh (tua).

Begitu saja. Alasannya utamanya adalah uang. InsyaALLAH ini bukan ekspresi kecewa, ketidakrelaan atau kekufuran atas nikmat hidup di Ibukota. Saya sangat bersyukur tinggal di kota yang kompetitif ini. Saya menikmati setiap jenak rindu akan tetangga, keluarga, dan tentu  orang tua. Ini hanya sebuah ide agar kita bisa membuat Jakarta manusiawi bagi perantau yang jauh dari keluarga batih. Jadi kalo mau  membangun atau membeli atau menyewa rumah, ayo tetanggaan^^. Biar kalau ada kebahagiaan, kami bisa berbagi dengan tetangga terdekat dulu. Dan bila ada kesusahan, ya...tolong dibantu ya..bim salabim jadi apa prok prok prok...Bercanda atuh..Trima kasih mas/mbak sudah mau menyempatkan membaca, jangan lupa dikasih cendol..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun