Selain dari catatan tersebut, penulis mencoba mengevaluasi hasil Pemilu Legislatif ini menjadi beberapa faktor yang menyebabkan hasilnya bisa seperti ini:
Pertama: Faktor Kinerja Masing-masing Caleg
Bahwa dalam pencapaian elektoral di Pemilu Legislatif jelas sangat mutlak bahwa masing-masing caleg harus bekerja secara maksimal untuk meraih suara di wilayah daerah pemilihannya masing-masing. Untuk mencapai kinerja yang maksimal, maka caleg juga harus punya daya jual, logistik, soliditas tim dan networking.
Kedua: Faktor Strategi Partai Politik
Strategi politik setiap parpol tentunya berbeda-beda, sesuai dengan potensinya masing-masing. Jika nasdem banyak menjaring caleg yang sudah punya elektoral misalnya caleg dari kader parpol lain, atau mengambil banyak selebritas yang didukung publikasi program melalui media yang dimilikinya, maka lain halnya dengan PKS yang menjual program SIM gratis dan bebas pajak kendaraan bermotor. Atau Perindo yang dengan kemampuan medianya selalu mempublikasi kegiatan parpolnya di televisi.
Ketiga: Pengaruh Efek Ekor Jas Pilpres
Pemilu 2019 kali ini adalah Pileg yang dibarengkan dengan Pilpres. Tentunya hal ini menjadi rumit, karena konsentrasi parpol terpecah menjadi dua. Yakni antara menyukseskan Capres yang diusung di koalisi, juga menyukseskan Pileg untuk mengamankan kursi di DPR. Dengan adanya dua koalisi dalam Pilpres 2019 ini, maka secara umum masyarakat terpolarisasi ke dalam dua kelompok pendukung masing-masing Capres.
Setelah melihat hasil quick count maka kita dapat melihat bahwa ada parpol yang diuntungkan oleh Pilpres ada juga yang kurang beruntung. Jika seharusnya Gerindra adalah parpol yang paling diuntungkan tapi kenyataannya, justru perolehan suaranya tidak berbeda jauh dengan Pemilu 2014 lalu. Hal ini karena adanya politik identitas yang kuat seperti di kubu Capres 02, terutama identitas Islam dalam pertarungan Pilpres.
Sehingga dari koalisi ini, maka dua parpol nasionalis secara mengejutkan justru dirugikan yakni Gerindra dan Demokrat. Sedangkan yang paling diuntungkan adalah PKS terutama setelah PBB berbalik ke Jokowi. Di sinilah kelompok Islam politik seperti eks-Hizbut Tahrir, FPI, dan FUI lebih cocok ke PKS dari pada PAN. Â Â
Hal ini berbeda dengan PKB dan PDIP yang meski mengalami kenaikan, nyatanya faktor Jokowi dan KH Ma'ruf Amin hanya sedikit memberi tambahan suara. Â
Keempat:Â Faktor Masalah Hukum, Perpecahan, dan Parpol Baru
Faktor ini mungkin yang dialami oleh PPP dan Golkar, di mana masing-masing tokoh sentral di kedua parpol tersebut tersandung masalah hukum. Seperti yang dialami oleh Romahurmuziy di PPP dan Setya Novanto di Golkar. Namun karena kedua parpol ini merupakan parpol tertua dan masih mempunyai basis tradisional, sehingga masih mempunyai basis yang loyal.
Meski bukan perpecahan yang mendasar, namun karena perbedaan pandangan terkait Pilpres antara elit dengan stuktur di bawahnya, menyebabkan PBB cenderung makin tenggelam. Selain itu, Hanura dan PKPI semakin kehilangan sosok tokoh juga cenderung mengikis kesolidan parpol dalam menghadapi Pileg kali ini sehingga persiapan yang minim berakibat pada penurunan suara.
Kemunculan parpol baru juga turut menggerus suara parpol seperti parpol Berkarya yang identik dengan Golkar. Namun parpol-parpol baru seperti Berkarya, PSI, dan Garuda kurang mendapat porsi waktu dalam sosialisasi sehingga belum cukup dikenal masyarakat.
Dari ulasan ini yang menarik adalah kemungkinan koalisi di parlemen yang semakin kuat bagi pemerintah karena didukung oleh mayoritas kursi di DPR. Hal ini berbeda dengan hasil pemilu 2014 lalu, di mana Golkar awalnya masih bergabung dengan kelompok oposisi, meskipun di perjalanan akhirnya bergabung dengan pemerintah.