Boleh saja Indonesia gembira bisa menang 3-0 atas Malaysia, tapi perhatikan gol-gol yang terjadi dan bagaimana proses terjadinya gol-gol tersebut dan juga progres berlangsungnya pertandingan keseluruhan? Gol-gol itu dua diantaranya bukan hasil dari pola serangan yang terancang. Kecuali gol ketiga yang disumbangkan oleh Zulham Zamrun, dua gol itu hasil unforced error pemain Malaysia yang mungkin gugup atau lainnya. Kalau dalam turnamen yang sesungguhnya Anda tidak boleh hanya berharap dari "keberuntungan" seperti itu.Â
Permainan Indonesia ketika melawan Malaysia tersebut juga bukan permainan yang membanggakan, terlepas dari gol-gol berkelas hasil prestasi individu Boas, Irfan dan Zulham. Malah kalau tiga gol itu tidak kita jadikan fokus, dan kita fokuskan pada permainannya maka timnas kali ini justru mengkhawatirkan.Â
Dengan Malaysia yang ditinggalkan empat pemain pillarnya termasuk sang jendral lapangan tengahnya Safiq Rahim, Indonesia sudah kerepotan. Ball possesion cenderung milik Malaysia. Umpan-umpan pendek tidak begitu berkembang. Malah kalau kita cermati terjadi penyimpangan makna ball possession di sepak bola Indonesia. Ball possession yang semestinya menunjukkan dominannya penguasaan bola dalam menyerang di sini diartikan penguasaan bola untuk memperlambat tempo pertandingan. Hladalah...!
3. Pemilihan Pemain
Kita punya banyak pemain bagus, berkaliber, dengan penguasaan bola yang lengket dan layak kita labeli "kualitas ekspor" yang menjanjikan penguasaan permainan, tetapi justru tidak dipanggil atau digugurkan dengan berbagai dalih strategi kononnya. Padahal kalau berbicara strategi, apapun strateginya bukankah kualitas pemain adalah yang sangat menentukan dan menopangnya?! Â
Terserah apa kemauan Riedl sehingga pemain sekelas Bayu Gatra misalnya yang sangat berperan menulangpunggungi klubnya menjadi juara paruh waktu sama sekali tidak diperhitungkannya. Yang penting kita harus catat ini dan lihat apa nanti hasilnya di piala AFF. Bisa apa timnas indonesia dengan muka-muka baru melawan kekuatan raksasa naturalisasi Filipina dan robot canggih Thailand.
Kalau dalam uraian di atas disebut-sebut nama-nama Bayu Gatra misalnya, itu hanyalah contoh saja. Penulis ingin menekankan bahwa begitu banyak bertaburan di Indonesia ini pemain berkualitas dengan skill Individu yang mungkin orang istilahkan lebih unggul dari rata-rata pemain asean lainnya itu, tetapi tidak dimanfaatkan oleh PSSI.Â
Di sebut PSSI karena pelatih adalah juga bagian wilayah kerja PSSI. Belum lagi memasukkan faktor dukungan setengah hati PSSI untuk prestasi sepak bola bangsanya dengan membatasi pemanggilan ke Timnas hanya boleh 2 orang saja setiap klub. Â Klop sudah, pelatih keinginannya aneh, PSSI nya setengah hati. Lantas bolehkah kita berharap prestasi yang maksimal? Dengan kekuatan dipenuhi pemain terbaik pun belum tentu kita bisa berjaya, inikan pula diawaki oleh pemain-pemain yang beberapa di antaranya masih "hijau"...
Kita masih punya Lilipally, Greg, Ferdinan Sinaga, dan lain-lainnya sebenarnya, yang bagi mayoritas orang akan dianggap lebih layak dari beberapa pemain yang ada di Timnas saat ini. Banyak orang menganggap Riedl paling memahami pemain dan permainan Indonesia. Tapi kalau paling memahami kenapa bisa jeblok. Dan anehnya sudah gagal total mengapa masih diberi kepercayaan lagi.Â
Berbicara pelatih asing kalau kita ingat-ingat justru Ivan Kolev lah yang sebetulnya mampu mengantarkan timnas Indonesia pergi paling jauh atau paling berpestasi. Setidaknya banyak pelatih asing yang cukup bagus dan telah lama berada dan berkiprah di liga  Indonesia, justru mereka itulah yang sebenarnya lebih memahami karakter pemain Indonesia.
4. Andil Negara atau Pemerintah