Penulis memang bukan pandai main sepak bola. Bahkan Juga bukan jenis yang rela bangun malam untuk melototin pertandingan bola apalagi yang jauh-jauh dari luar benua. Tetapi kalau itu menyangkut pertandingan antarbangsa yang melibatkan nama Indonesia baik itu level klub atau negara pasti tidak akan melewatkan untuk minimal ikut menyimak beritanya atau, yang lebih seringnya, menonton pertandingan partai-partai krusialnya. Jadi disingkatkan cerita Ksatria Wangsa memang  sudah bisa dianggap pengamat bola nasional, hehehe.... Pengamat dalam arti harfiahnya.
Meskipun bukan pengamat atau pakar yang menguasai ilmu persepakbolaan, namun tidak ada salahnya setiap orang mencoba memberikan pandangan berdasarkan telaahan rasionalnya. Toh meskipun negara ini tidak kekurangan pengamat atau bahkan pakar "betulan" bukti nyatanya prestasi sepak bola kita juga tidak beranjak ke mana-mana. Paling jauh juga hanya spesialis runner up saja. Yang runner up ini pun sekarang malah naga-naganya sudah mulai menjauh menjadi kenangan indah masa lalu.Â
Pertanda mutakhir tentang kemunduran prestasi sepak bola kita adalah kekalahan-kekalahan timnas baik senior maupun yunior kepada negara serantau Asean yang dulu selalu mudah kita kalahkan. Untuk sekadar menyebut contoh adalah kekalahan timnas kita kepada Filipina, Laos dan Myanmar. Lupakan saja kekalahan dari Malaysia dan Vietnam apalagi Thailand karena memang sudah agak lama kita sering kalah dari mereka.
Kita terlalu sering mendengar orang mengaku-ngaku kalau pemain Indonesia sebetulnya unggul dalam skill individu..bla..bla...bla. Pendapat tersebut memang ada sebagian kebenarannya, walau tidak seluruhnya. Buktinya tetap ada saja pemain Asean yang prestasinya lebih mencorong di kancah antarabangsa dari pada pemain Indonesia.Â
OK-lah kita anggap saja pernyataan tersebut mempunyai kadar kebenarannya tersendiri. Dalam kenyataannya toh memang kita punya banyak talenta pemain yang hebat-hebat. Kita bukan bangsa yang tidak berbakat main bola. Tetapi main bola tidak sama dengan mainin bola tentunya. Nah sekarang apa gerangan penyebab sepakbola Indonesia bukannya semakin maju tetapi malah semakin mundur?
1. Pemain Takut "Pegang" Bola
Untuk melihat apa masalahnya ada baiknya kita angkat ke permukaan satu persatu temuan-temuan dari menyaksikan pertandingan-pertandingan timnas. Untuk yang pertama kita soroti fenomena pemain Indonesia yang takut bawa bola. Mereka terlalu lama kutak-katik bola di kawasan pertahanan sendiri atau mereka terus long pass ke depan dengan akurasi berantakan. Mengapa? karena mereka takut bawa bola! Pengertian bawa bola di sini termasuk memainkan umpan-umpan pendek di tengah lapangan. Padahal mereka bisa memberikan umpan ke sesama mereka sambil bergerak maju.Â
Tapi perhatikan, gerakan maju dengan umpan-umpan pendek seperti ini tidak akan bertahan lebih dari 3 atau 4 kali umpan. Karena apa? karena pemain takut dan panik jika ada pressing lawan. Dan celakanya negara lain seperti sudah tahu kelemahan ini. Setiap kali mereka menghadapi Indonesia mereka akan memberi pressing habis-habisan, dan seperti sudah mereka jangkakan sebelumnya, pemain Indonesia akan segera melepaskan bola secara terburu-buru dan akhirnya selalu salah umpan. Alhasil permainan jadi tidak efektif dan tidak berkembang.Â
Padahal kalau konon katanya pemain kita unggul dalm skill individu, maka semestinya mereka mengawal itu bola dan berkelit dari pressing lawan, baru kalau sudah mapan bola diumpan kepada kawan dalam kerangka menyerang, bukan dalam kerangka sekadar melepaskan tekanan/pressing, seperti yang selalu terjadi pada timnas Indonesia saat ini. Jadi permainan bisa produktif.
Dalam setiap timnas hanya sedikit pemain yang punya keberanian dan skill dalam mengolah bola menghindari pressing lawan ini. Contohnya kalau dulu Ronny Pati, Marzuki NyakMad, Bejo Sugiantoro. Mahyadi Panggabean, Kurniawan DY dll. Dan kalau sekarang dimiliki Evan Dimas, Bayu Gatra, Paulo Sitanggang, Maldini Pali, Greg Nkwolo, Titus Bonai dan Andik Vermansyah, dll untuk sekadar menyebut contoh.
Patut dicari jawabnya kenapa mereka takut bawa bola dan gagal memainkan bola dari kaki ke kaki secara produktif. Dugaan yang mudah adalah mereka kurang keras mendapat materi pelatihan di bidang ini. Pelatih menganggap pemain mereka sudah cukup mampu melakukannya. Mungkin tidak ada pelatih yang memberi penekanan yang signifikan pada masalah ini.Â