Mohon tunggu...
gatot winarko
gatot winarko Mohon Tunggu... -

Sederhana dan Konsisten (Copas from Mandawega) hehe..

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bercanda ala Anggota DPR Golkar

24 Januari 2014   08:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:31 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi yang dilakukan oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar berbuntut panjang. Sejumlah nama terseret dalam kasus suap pemenangan pilkada. Tercatat ada nama Chairun Nisa, Hambit Bintih, Idrus Marham, Zainuddin Amali dan Mahyudin yang semuanya tercatat sebagai kader Partai Golkar. Bisa dimaklumi, Akil adalah mantan Kader Golkar pula sehingga dia mempunyai kedekatan dengan sejumlah Kader Golkar lain yang masih aktif. Dan ini dimanfaatkannya untuk mendapat uang dari proses pilkada di beberapa daerah yang melibatkan Partai Golkar.

Namun ada hal menarik dari persidangan yang digelar kemarin terkait kasus suap Akil Mochtar. Chairun Nisa, anggota DPR dari Fraksi Golkar memberikan kesaksian mengenai keterlibatannya dalam suap Pilkada Gunung Mas. Nisa didakwa sebagai penghubung antara Akil dan Hambit Bintih, calon terpilih dari Pilkada Gunung Mas. Nisa mengaku hanya membantu dalam meyampaikan keinginan Hambit agar MK menolak gugatan atas hasil Pilkada Gunung Mas sehingga Hambit dapat dilantik sebagai bupati terpilih.

Dalam negoisasinya, Nisa menawar agar Akil mau menurunkan ‘tarif’. Pada awalnya Akil meminta uang Rp 3 Miliar dalam kode emas 3 ton. Namun Hambit menawar dengan harga 2-2,5M rupiah saja. Hal ini berdasar jumlah yang diberikan atas kasus Pilkada Palangkaraya yang kemudian menyeret nama Muhyidin dan Sekjen Partai Golkar idrus Marham. Namun Akil bersikukuh tak mau menurunkan permintaannya. Sehingga terjadilah kesepakatan suap dengan nilai 3 miliar rupiah.

Nah, atas upayanya dalam membatu kelancaran transaksi ini, ChairunNisa meminta imbalan kepada Akil. Permintaan itu disampaikan lewat SMS. Tapi kemudian dia berdalih bahwa permintaan ‘bagian’ itu hanya BERCANDA saja (ha..ha..ha..). Dia mengaku hanya membantu Hambit dalam kasus sengketa Pilkada Gunung Mas dan tak mengharapkan imbalan. (Sungguh mulia sekali hatimu, Bu #eh)

Hal serupa ternyata juga terjadi pada kasus Pilkada Jatim. Kali ini yang menjadi aktornya adalah Zainuddin Amali. Zainuddin adalah Ketua Partai Golkar Jawa Timur sekaligus Wakil Ketua Komisi VII DPR RI. Kasus ini muncul saat Khofifah mengajukan gugatan atas hasil Pilkada Jatim yang dimenangkan pasangan Soekarwo-Saefullah Yusuf. Kamudian Akil meminta Partai Golkar Jatim untuk menyediakan uang Rp 10 M jika ingin gugatan yang diajukan Khofifah ditolak sehingga Soekarwo, yang juga didukung Partai Golkar, dapat segera ditetapkan sebagai Gubernur Jatim terpilih periode 2013-2018.

Permintaan Akil tersebut disampaikan lewat BBM kepada Zainuddin. Isi pesan tersebut bahwa Akil menganggap Pilkada Jatim GJ (Gak Jelas) dan akan dibatalkan hasilnya. Dia mengaku pusing memikirkan bagaimana caranya agar gugatan itu ditolak. Lantas dia meminta uang Rp 10 M untuk ‘melicinkan otaknya’ dan jika ingin pihak tergugat selamat dalam kasus ini. Dia tidak mau kalau hanya diberi uang ‘kecil’. Menanggapi pesan tersebut Zainuddin kemudian menjawab dengan segera menginfokan permintaan Akli ini kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti. Meskipun sampai sekarang belum ada bukti adanya suap tersebut.

Ketika diminati keterangan mengenai isi BBM diatas, Zainuddin menjawab bahwa hal itu hanya BERCANDA alias GUYONAN saja. “Ya, biasalah, kayak kita orang lagi bercanda-cada gitu”. Ujar Zainuddin mengutip dari Kompas.com.

Namun apa yang menjadi bahan candaan mereka benar-benar membuat rakyat menangis. Memang manusiawi jika kita keluar sejenak dari focus pekerjaan yang melelahkan untuk sekedar bercanda dengan rekan-rekan. Tapi arah substansi guyonan ini hendaknya tindak menimbulkan masalah di kemudian hari. Tidakkah mereka sadar, bahwa mereka punya wewenang untuk berbuat sesuatu daripada kita yang hanya rakyat biasa. Ketika menyangkut jabatan dan wewenang, hendaknya singkirkan dulu candaan-candaan yang punya makna ambigu. Terbukti kan, kalau candaan tersebut ditanggapi (dan tidak menjadi masalah besar) maka ini dianggap berkah, namun jika menjadi suatu masalah, dengan enteng kita jawab “Ah, itu cuma bercanda. Biasalah.”. Bercanda boleh saja, tapi lihat juga situasi dan kodisinya. Jangan sampai guyonan kita menyakiti orang lain dan menjadikan masalah di kemudian hari buat kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun