Persaingan dua kandidat presiden semakin menuju arah yang sulit dipahami. Entah apa motifnya, kini rutinitas shalat menjadi hal yang penting dalam menilai kualitas seorang capres. Sampai-sampai ada yang menganjurkan untuk ‘lomba shalat’. Mungkin Undang-undang mengenai syarat capres harus direvisi, dengan memasukkan satu syarat baru: tak pernah bolong mendirikan shalat lima waktu. Buktinya adalah absen yang ditandatangani oleh imam masjid tempat capres tersebut shalat berjamaah.
Memang shalat adalah kewajiban utama seorang muslim, dan kebetulan kedua calon presiden kali ini adalah muslim (sampai 3 kali ajang pilpres langsung digelar belum ada capres nonmuslim). Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa dari kualitas shalat seseorang dapat dinilai kepribadian yang sesungguhnya. Artinya apakah dia baik atau buruk, lihat saja shalatnya. Kalau shalatnya bagus (khusyuk) maka dia memiliki jiwa yang baik dan pantas untuk dijadikan pemimpin. Tetapi saya memiliki pendapat yang berkebalikan dengan pepatah di atas, dari kepribadian sehari-hari, kita bisa tahu bagaimana kualitas shalat seseorang. Hal ini karena sering kita lihat kasus-kasus kejahatan yang justru dilakukan oleh orang-orang yang rajin shalat. Tentu kita akan membatin sendiri, mungkin shalat orang yang jahat tersebut menghadap ke arah yang tak seharusnya. Tapi cukup di dalam batin saja, dan luruskan shalat masing-masing lebih utama daripada sibuk menilai orang lain.
Menurut saya, ibadah shalat ataupun ibadah ritual lainnya adalah urusan yang bersifat personal dan tidak perlu diangkat menjadi isu nasional. Hal ini akan menjadi rumit dan menyiksa nalar ketika kita disuguhi lomba shalat atau ada seorang yang ahli shalat menilai shalat seorang capres. Apalagi jika ibadah shalat ini nantinya hanya ditujukan untuk meraih simpati masyarakat, arahnya ke riya dan sangat berbahaya bagi diri (jiwa) seorang muslim.
Sementara itu, daripada menguji shalat seorang capres, saya lebih suka jika masyarakat ingin menguji wawasan seorang capres. Dalam hal ini, jika seorang capres rajin membaca akan memperoleh wawasan yang luas dan ini sangat bermanfaat dalam memimpin negeri yang luas ini. Dari wawasan yang didapat, dia akan dapat merumuskan kebijakan untuk menyelesaikan masalah masalah yang sedang dihadapi.
Terlebih lagi, jika kita melihat minat baca rata-rata penduduk Indonesia yang masih kurang. Hal ini ditunjukkan dengan masih sepinya perpustakaan di sekolah atau perpustakaan daerah sehingga perlu adanya seorang pemimpin yang dapat memeberi teladan mengenai manfaat membaca. Tujuannya adalah untuk membangkitkan minat baca seluruh warga negara. Jika ini terwujud, masyarakat akan lebih mandiri dalam menjalani kehidupannya dan tidak semata menggantungkan kebijakan lantaran sudah semakin cerdas mengelola hidupnya. Selain itu, masyarakat juga tak akan mudah dikelabuhi oleh para pejabat dan isu-isu yang tidak bermanfaat. Selamat membaca. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H