Mohon tunggu...
M. Nur Laili Dwi Kurniyanto
M. Nur Laili Dwi Kurniyanto Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Managing Partner Sui Iuris Law Office

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ironi Adu Jotos Hukum dan Kekuasaan

12 April 2015   11:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:13 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : M.Nur Laili Dwi Kurniyanto

Hukum dan kekuasaan bagaikan pasutri yang memiliki sifat saling bertolak belakang namun tidak dapat dipisahkan.  Pasalnya, di satu sisi sang suami memiliki watak idealis, tegas, tidak kenal kompromi, kaku, protected dan suka mengatur. Sedang disisi lain sang istri memiliki watak luwes, penuh kasih sayang, kompromis, terbuka, dan sering kebabalasan dalam menggunakan haknya. Sang suami yang selalu idealis dengan wataknya tersebut menjadikan dirinya kurang dekat dengan keluarga terutama anak-anaknya, hal tersebut membuat kurang mendapat dukungan sehingga mengalami kesulitan dalam menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin rumah tangga, sebaliknya sang istri yang cenderung bersifat luwes dan penuh kasih sayang, akan  membuat dirinya dekat dengan keluarga terutama anak-anaknya, keadaan ini menjadikan sang istri memiliki pengaruh dan kekuatan yang besar dalam membina rumah tangganya.

Di dalam suatu keluarga, idealnya kedudukan suami dan istri adalah sejajar,keduanya memiliki peran yang sama penting dalam membina keluarga, suami berkedudukan sebagai kepala keluarga yang bertugas mengatur dan memimpin, sedangkan istri bertanggung jawab dalam membina hubungan baik antar sesama anggota keluarga, merawat, mendidik anak-anaknya dan mengatur keuangan keluarga,besarnya tanggung jawab istri dalam keluarga tersebut, menjadikan kedudukannya sama penting dengan sang suami, sehingga keduanya harus mampu bersinergi untuk saling melengkapi. Sang suami harus mampu mengendalikan dan mengatur sang istri dalam peranannya sebagai kepala keluarga, sebaliknya sang istrilah yang harus memberikan dukungan dan kekuatan kepada suami dalam memimpin keluarga.  Di dalam konteks penjelasan diatas tergambar jelas, walaupun sifat mereka saling bertolak belakang namun keduanya sama-sama memiliki andil yang besar bagi kelangsungan hidup pasangan dan anak-anaknya, mereka harus saling melengkapi demi terciptanya keselarasan dan keutuhan rumah tangga. konteks penjelasan tersebut juga membuktikan bahwa sang suami dalam melaksanakan fungsinya sebagai pemimpin keluarga sangat membutuhkan eksistensi dan dukungan sang istri untuk dapat diakui dan ditaati oleh seluruh anggotanya, begitupun dengan istri, sebagai  pelaku inti dalam membina keluarga dan memiliki tanggung jawab yang besar harus taat pada aturan suami sebagai alat kontrol terhadap dirinya demi terciptanya keluarga yang harmonis.

Dari uraian diatas, dapat kita asumsikan bahwa suami adalah hukum, istri adalah kekuasaan, sedangkan anak-anaknya asumsikan sebagai masyarakat, berarti standing point yang penulis dapat adalah hukum memerlukan kekuasaan untuk mengatur masyarakat. hukum dan kekuasaan harus berjalan sinergis, keduanya bagaikan dua mata koin yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan, saling mempengaruhi dan saling terikat, hal ini senada dengan pandangan para ahli hukum tata negara yang mengatakan bahwa: kekuasaan tanpa hukum akan terjadi kesewenang-wenangan pada masyarakat, dan sebaliknya hukum tanpa kekuasaan tidak dapat ditegakan.

Sejatinya, hukum merupakan instrumen yang digunakan untuk mengatur seni kehidupan setiap umat manusia yang hidup dalam suatu negara merdeka, dalam hal ini hukum difungsikan sebagai alat pengatur hubungan antara sesama masyarakat, hubungan antara  pengusa dengan masyarakat, sehingga hukum harus mampu membatasi kekuasaan dalam tujuannya untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan, selain itu hukum juga difungsikan sebagai alat kontrol sosial.

Berangkat dari teori roce a pond, yang mengatakan bahwa law is a tools of social enginering, sehingga dapat penulis pahami bahwa hukum merupakan suatu instrumen yang karena sifatnya dapat menjadi alat untuk mengarahkan masyarakat pada keadaan yang diinginkan oleh penguasa, faktanya teori ini sering dijadikan sebagai alasan pembenar oleh penguasa untuk memanfaatkan hukum dalam penyalahgunaan kekuasaan, namun tak bisa dipungkiri bahwa teori tersebut sejalan dengan realita yang ada serta sanggup membuktikan betapa besarnya power dari kekuasaan tersebut, dalam teori tersebut, hukum diibaratkan hanya sebagai alat penguasa untuk mencapai suatu keadaan tertentu, sehingga seolah penguasa mampu menguasai hukum untuk mengatur dan merekayasa masyarakat, keadaan tersebut akan menimbulkan berbagai masalah manakala penguasa super power, sehingga hukum hanya dijadikan sebatas alat yang tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan dan membetasi kekuasaan. Pada akhirnya, yang terjadi adalah hukum dapat direkayasa dan dijadikan sebagai senjata mutakhir untuk memuluskan tindakan penyalahgunaan kekuasaan, hukum yang sejatinya sebagai alat pembatasan kekuasaan berbalik menjadi alat untuk melegalkan kesewenang-wenangan atas kekuasaan itu sendiri.

Berkaitan dengan kelemahan teori tersebut belum hilang ingatan kita pada kejadian tempo dulu, kelemahan teori terebut nyata-nyata telah terbukti dan dirasakan oleh bangsa Indonesia. Pada waktu itu kita semua tentu taubagaimana rasanyaseorang penguasa mendapatkan legitimed yang luar biasa kuatnya untuk melanggengkan kekuasaan, dan kebijakannya. Rakyat seolah-olah diberdaya dengan kekuasaan tanpa batas yang mengatas namakan hukum. Keadaan tersebut sekaligus dapat menjadi alat bukti, tentang bagaimana jika hukum dan kekuasaan tidak berjalan semestinya, akibatnya suatu negara yang diproyeksikan untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya malah dijadikan sebagai lahan oleh beberapa golongan untuk melanggengkan kemakmuran dan kepentingannya dengan mengatasnamakan hukum. Hingga pada akhirnya yang tersisa hanyalah ketidakstabilan di berbagai lini seperti politik, ekonomi maupun terjadi krisis kepercayaan yang berujung pada demonstari besar-besaran yang mengakhiri rezim sang penguasa. Kejadian tersebut juga memaksa bangsa Indonesia untuk melakukan amandemen konstitusi berulang-ulang oleh para legislator, hal ini dimaksudkan agar dapat menemukan ramuan yang mampu mensejajarkan dan mensinergikan antara hukum dan kekuasaan, sehingga diharapkan hukum sebagai kaidah tumpuan dalam menyelesaikan masalah yang mengatur tata kehidupan bernegara akan mampu tampil ideal, wibawa guna menjalankan  fungsi pokoknya, yakni menciptakan keadilan, kemanfaatan, kepastian dan mampu membatasi kekuasaan penguasa dan melindungi hak-hak rakyatnya. Sedangkan kekuasaan berfungsi untuk memberikan power pada penegakan hukum,sehingga hukum dapat supreme.

Namun realita yang terjadi akhir-akhir ini seringkali bertentangan dengan idealitanya, hukum dan kekuasaan sering kali kembali berbenturan, para penguasa masih saja memanfaatkan celah – celah hukum (loop hole) dengan diapit oleh pihak tertentu untuk meyalahgunakan kewenangan dalam kekuasaannya, hukum sering kali dimainkan dan ditafsirkan seenaknya sehingga melebihi dari apa yang seharusnya, para pihak yang berkuasa merumuskan hukum acap kali juga memasukkan unsur –unsur kepentingan tertentu didalamnya, hal ini mengakibatkan benturan kepentingan antar sesama aturan hukum maupun dengan kekuasaan tidak dapat terelakkan,  di satu sisi hukum harus membatasi kekuasaan penguasa, tetapi disisi lain penguasa dapat menafsirkan hukum untuk melegalkan kesewenangannya dalam kekuasaan. Contoh fakta sederhana yang mampu menggambarkan hal tersebut adalah, kisruh dualisme MUNAS partai Golkar yang sedang berkecamuk, dalam kasus tersebut disatu sisi pemerintah dalam konteksnya selaku pemegang kekuasaan telah melegalkan DPP kubu Agung Cs melalui SK MENKUNHAM, sekaligus menandai terjadinya dualisme kepengurusan partai Golkar, disatu sisi hukum kurang sependapat dengan keputusan penguasa tersebut sehingga PTUN melalui putusan sela menunda pelaksanaan SK MENKUNHAM, sedangkan rakyat hanya bisa was-was menyaksikan dan menunggu akhir dari kegaduhan tersebut.

Dari fakta tersebut dapat kita bayangkan, bagaimana yang akan terjadi jika dua pilar besar negara yang sama kuat tersebut saling beradu untuk menguasai satu dengan yang lainnya, hal yang seharusnya mampu tampil sinergis untuk saling menompang kehidupan berbangsa dan bernegara tidak berjalan semestinya. Andaikan jika kita kembalikan dalam konteks awal, misalkan kekuasaan adalah seorang ibu, hukum adalah seorang ayah, dan anak adalah masyarakat tentu kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada anak dan keluarga jika seorang ayah dan ibu saling beradu kekuasaan untuk menguasai potensi keluarga.

Mahasiswa fakultas hukum universitas islam indonesia angkatan 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun