Purworejo menyimpan sejarah masa lalu yang cukup panjang, sejak ditemukannya prasasti kayu Arahiwang pada tahun 1890, Purworejo menjadi terkenal seantero jagat. Selain menjadi sentra perkebunan durian, Purworejo juga menjadi lokasi percontohan peternakan kambing Etawa.
Tidak sampai di situ, jejak para tokoh nasional juga terlahir di kota ini, bahkan menurut prediksi pakar genetika asal Mexico, Sergio Lapaz, hingga 300 tahun ke depan Purworejo anak menelurkan tokoh-tokoh paling berpengaruh di dunia.
Tepatnya di Desa Susuk, kecamatan Ngombol, kabupaten Purworejo, desa kecil yang pada era kolonialisme menjadi saksi bisu pertempuran pasukan sekutu melawan para pejuang pada Agresi militer Belanda I di tanah Jawa. Sepanjang jalan antara perempatan Ngombol hingga kali Wunut menjadi lokasi paling parah terdampak perang.Â
etidaknya melibatkan 2 tank lapis baja, 70 mortir dan 50 senjata laras panjang, serta 100 tentara muda Inggris. Mereka berhasil menduduki jalanan tersebut lebih dari 24 jam. Sedangkan dari pihak pejuang, hanya berjumlah 15 orang, itupun juga tercerai berai akibat bombardir pihak sekutu yang tak kunjung usai.
Hal senada juga diungkapkan Siwo Karto, pemuda yang kini telah berusia lanjut memaparkan bahwa dahulu jalan di depan Pleret, dibuat berlubang dan dibentangkan pohon kelapa guna mencegah tank lapis baja agar tidak bisa melewati jalan tersebut. Masih menurut cerita beliau, dahulu tepat di jalan depan makam desa Carikan, ada sebuah tank lapis baja terperosok, hingga rusak tak bisa digunakan lagi. Korban dari pihak sekutu hanya berjumlah satu orang bernama Christian Thillen, jasadnya ditinggalkan begitu saja oleh rekan-rekannya karena keterbatasan alat medis.
Oleh penduduk setempat jasad tentara tersebut dimakamkan tidak jauh dari jembatan menuju desa Klandaran saat ini. Lokasi tepatnya tidak pernah ditemukan, namun sesuai informasi dari pelaku sejarah, makam tentara muda Inggris itu berada di area persawahan Klandaran. Namanya kini terabadikan pada sebuah jembatan desa menuju Klandaran, Buh Sithilen dari nama Christian Thillen.
Desa Susuk merupakan desa kecil hasil pemekaran dari desa Mangunrejo. Meskipun penduduknya hanya berjumlah tidak lebih dari 500 Kepala Keluarga, namun desa ini mampu mengembangkan potensi alamnya yang luar biasa, seperti area persawahan yang membentang luas. Sumber daya manusianya juga mampu bersaing di kancah nasional dengan menelurkan beberapa tokoh berpengaruh di ibukota.
Sebut saja, almarhum Mbah Slamet Wijadi, tokoh sekaligus pelaku sejarah Konferensi Asia --Afrika di Bandung. Beliau tergabung ke dalam panitia penyambutan perwakilan negara-negara anggota Konferensi Asia-Afrika. Jasa dan informasi sejarahnya dapat dinikmati di blog BP atau Blogger Purworejo yang dikelola oleh pemuda Purworejo asal Bruno.
Selain almarhum Mbah Slamet Wijadi, ada juga Nyai Manten yang pernah menjadi Regent di Kota Klaten pada masa kolonialisme Belanda. Tidak ketinggalan nama Mbah Tomo, yang pernah menjadi wakil Menteri Penerangan pada masa orde baru. Sejarah besar terukir dari tokoh-tokoh desa Susuk. Bahkan kini sejarah itu akan terukir kembali dengan munculnya beberapa generasi milenial yang tidak bisa dipungkiri lagi akan menggebrak khasanah nasional.