Mohon tunggu...
Dwi Ananto Widjojo
Dwi Ananto Widjojo Mohon Tunggu... Insinyur - Broadcast Television Engineer

Broadcast Television Engineer

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Siaran HDTV atau SDTV

24 Januari 2016   13:46 Diperbarui: 25 Januari 2016   10:57 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam bukunya “Being Digital” yang terbit tahun 1995, Nicholas Negroponte menyatakan bahwa siaran HDTV dianggapnya tidak relevan, karena meskipun gambar yang dihasilkan lebih bagus namun sangat boros bandwidth. Hal ini bisa dimaklumi mengingat teknologi kompresi MPEG2 pada waktu itu masih baru dalam tahap penelitian. Menurut Negroponte, hal yang lebih relevan adalah personalisasi content. Maksudnya, content dibuat sedemikian beragam sehingga mampu memenuhi selera orang-per-orang (personal).

Hari ini personalisasi content itu sudah terjadi, khususnya content video yang tersedia di Youtube, dimana kita bisa memilih tayangan video sesuai selera masing-masing. Bahkan sudah banyak diantaranya yang berkualitas High Defenition (HDTV).

Untuk bisa mengakses video di Youtube, orang diwajibkan untuk membayar, minimal harus membayar beaya langganan internet. Meskipun orang sudah memiliki perangkat untuk mengakses internet (misalnya PC atau mobile gadget) tetap tidak akan bisa mengakses Youtube jika ia tidak membayar beaya langganan internet. Selanjutnya, untuk bisa mengakses video berkualitas HDTV pelanggan internet ini harus membayar lebih mahal. Sebab untuk mendapatkan kecepatan internet yang lebih tinggi, harga langgananya pasti lebih mahal. Jasa layanan content seperti Netflix malah meminta tambahan beaya agar para pemirsanya bisa menonton beraneka ragam pilihan film yang disediakan. Padahal pemirsanya itu sudah terlebih dulu harus membayar beaya langganan internet.

Operator TV berlangganan, seperti Indovision (menggunakan satelit) dan Firstmedia (menggunakan kabel), sudah barang tentu menarik beaya langganan bulanan kepada para pelanggannya, sehingga masuk akal bila mereka meningkatkan kualitas layanannya dengan tayangan-tayangan HDTV. Dalam hal ini, layanan HDTV yang boros bandwith itu bisa diterapkan, karena Indovision memiliki satelit sendiri, dan Firstmedia memiliki kabel sendiri. Jadi satelit dan kabel, sebagai fasilitas dan media penghantar untuk menyalurkan layanan kepada pelanggan, adalah milik sendiri, sehingga mereka sangat bebas untuk menentukan tingkat layanannya.

Akan tetapi ketika frekuensi radio yang digunakan oleh stasiun TV sebagai media penghantarnya itu adalah milik publik, apakah layanan HDTV ini tepat untuk diterapkan? Padahal alasan utama migrasi ke arah siaran TV digital adalah penghematan bandwidth. Jika siaran HDTV yang boros bandwidth ini diterapkan di sini, bukankah alasan itu menjadi bertolak belakang? Jika satu pemancar TV digital bisa digunakan untuk menyiarkan 12 program TV standar (SDTV) dan kemudian ketika diganti dengan tayangan HDTV hanya bisa menyiarkan 6 program, maka hal ini jelas bertentangan dengan tujuan semula.

Oleh karena itu, seandainya siaran HDTV itu diberlakukan pada siaran TV digital free to air (tidak berbayar) dimana media penghantarnya adalah frekuensi radio yang nota bene adalah milik publik, maka perlu dipertimbangkan adanya ketentuan bahwa operator (atau content provider) yang menyiarkan tayangan HDTV harus dikenakan retribusi lebih, mengingat frekuensi / bandwidth yang digunakannya juga lebih. Jika tidak, maka siaran TV digital free to air tetap menggunakan standar SDTV dengan maksud agar lebih hemat bandwidth dan jumlah program yang ditayangkan lebih banyak agar personalisasi content juga lebih mendekati kenyataan.


 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun