Mohon tunggu...
Dwi Ananto Widjojo
Dwi Ananto Widjojo Mohon Tunggu... Insinyur - Broadcast Television Engineer

Broadcast Television Engineer

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Percepatan Implementasi TV Digital

1 Februari 2015   23:56 Diperbarui: 12 Mei 2016   21:48 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah sebuah usulan tentang solusi atas implementasi TV digital yang masih tertunda-tunda.

 1. Operator pemancar TV digital (Network Provider) diseleksi secara ketat oleh Dept. Kominfo sedemikian rupa sehingga hanya 5 operator saja yang terpilih di setiap zona.

 2. Ke-5 operator yang terpilih ini semuanya adalah para operator TV nasional.

 3. Ke-5 operator ini harus membeli pemancar baru untuk untuk siaran digital, karena pemancar analognya masih harus dipakai agar bisa siaran secara simultan.

 4. Membeli pemancar baru tentu butuh investasi yg tidak kecil, apa lagi jika harus membeli sekian banyak pemancar untuk seluruh zona yang harus di-cover-nya.

Mengapa tidak melibatkan TV lokal agar beban ini menjadi lebih ringan?

 Sayangnya, TV lokal tidak diberi kesempatan untuk menjadi operator TV digital. Sebab yang bisa menjadi operator TV digital adalah mereka yang telah berpengalaman menjadi operator TV nasional, itupun melalui proses seleksi yg sangat ketat.

 Jika di satu wilayah sudah dipasang pemancar TV digital (oleh operator TV digital), maka TV lokal boleh menyewanya agar bisa ikut siaran digital. Sebab satu pemancar TV digital bisa digunakan untuk menyiarkan 12 program sekaligus. Dengan catatan, 3 program diisi oleh operator TV digital itu sendiri, sedangkan sisanya wajib disewakan kepada TV lokal (content provider).

 Maka pada titik inilah keberadaan TV lokal menjadi seperti anak tiri. Mengapa justru warga luar yang diberi hak istimewa untuk mengelola slot frekuensi lokal, sementara warga lokal sendiri harus menyewa dari mereka? Padahal seharusnya justru warga lokal inilah yang lebih berhak untuk mengelola sendiri sumber daya alam (frekuensi radio) yang berada di wilayahnya.

 Maka terjadilah blunder. Aturan yang dibuat seperti itu, sementara hak warga lokal tidak terakomodasi. Akibatnya timbul penolakan dan bahkan tuntutan hukum dari ATVLI (Asosisasi Televisi Lokal Indonesia) dan juga dari ATVJI (Asosiasi TV Jaringan Indonesia). Sementara batas waktu migrasi siaran TV digital ini sudah semakin dekat (2018).

 Oleh karena itu perlu dipertimbangkan: pemberian 1 (satu) slot frekuensi di setiap wilayah lokal untuk 1 (satu) pemancar TV digital. Jika selama ini pemberian slot frekuensi untuk TV analog saja bisa, untuk TV digital tentu juga bisa. Toh alokasi frekuensi untuk TV digital tidak hanya 5 slot, tapi 18 slot (http://www.kompasiana.com/mas_antok/digital-deviden_5723212d157b614313ee4184).

Nah dengan diberinya hak mengelola sendiri 1 (satu) slot frekuensi untuk pemancar TV digital, maka para operator TV lokal itu bisa berkolaborasi membeli 1 (satu) pemancar baru untuk digunakan secara bersama-sama. Sebab 1 (satu) slot frekuensi ini sudah cukup untuk menampung 12 (dua belas) TV lokal untuk bisa siaran digital secara bersamaan. Hal ini mengingat bahwa di satu wilayah, jumlah TV lokalnya tak lebih dari 10 operator, sehingga satu slot frekuensi saja di rasa sudah cukup.

 Dengan cara ini maka migrasi ke arah TV digital bisa lebih cepat karena adanya partisipasi dari seluruh operator TV lokal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun